> >

Soal RUU Cipta Kerja, Presiden Jokowi Dengarlah Suara Rakyat - Opini Budiman Eps. 7

Berita kompas tv | 4 Mei 2020, 16:26 WIB

Judul Asli: RUU Sapu Jagat di Tengah Revolusi Sunyi

Oleh: Budiman Tanuredjo

Sabtu, 18 April 2020, seorang anggota Badan Legislasi DPR mengirim pesan kepada saya. Isinya semacam siaran pers anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar soal RUU Cipta Kerja.

Saya sebenarnya sudah agak lupa dengan substansi RUU Cipta Kerja yang dibuat dengan mekanisme sapu jagat atau omnibus law.

Omnibus law ialah constitutional exercise dari Presiden Joko Widodo. Wajar saja publik lupa karena publik dan pemerintah– entah kalau DPR—sedang konsentrasi menghadapi ”revolusi sunyi”; pandemi Covid-19.

Baca Juga: Peringati May Day, Buruh Tolak RUU Omnibus Law

”Revolusi sunyi” Covid-19 meluluhlantakkan semuanya: sistem finansial; sistem kesehatan; sistem anggaran; sistem politik.

Gerak laju kapitalisme melambat atau mungkin berhenti. Masa depan kapitalisme bakal dipertanyakan ketika tren penjarakan fisik melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlanjut, serta terjadi tren deindustrialisasi dan tren definansialisasi.

Dalam suasana ketidakpastian menghadapi ”revolusi sunyi” Covid-19, DPR membahas RUU Cipta Kerja. Padahal yang bakal dihadapi pascapandemi, menurut sejarawan sekaligus filsuf Yuval Noah Harari, ialah dunia baru yang bentuknya tergantung bagaimana kita menangani pandemi.

Dalam siaran pers bertajuk ”DPR Minta RUU Cipta Kerja Jangan Dipolitisasi”, anggota DPR itu meminta semua pihak tidak menjadikan RUU Cipta Kerja sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok tertentu yang tidak ingin melihat perekonomian bangsa ini maju.

”Seharusnya RUU betul-betul dijadikan kepentingan nasional. Apalagi RUU ini banyak diharapkan dan menjadi angin segar. Pemerintah bisa melakukan terobosan serta memberikan insentif terkait pemulihan ekonomi,” katanya.

Baca Juga: May Day, Buruh Desak Pemerintah Batalkan RUU Cipta Kerja

Sejumlah kelompok berharap DPR mengurungkan niat membahas RUU Cipta Kerja.

Badai Covid-19 yang memakan banyak korban jiwa, dan entah kapan terhenti, menuntut konsentrasi penuh pemerintah dan masyarakat sipil.

Masyarakat sipil ”dilarang” keluar rumah karena PSBB. Padahal, RUU Cipta Kerja membutuhkan masukan publik dari semua lini.

RUU Cipta Kerja ambisius; hampir mengacak-ngacak semua sektor. Prinsip otonomi daerah diterabas. Kemerdekaan pers diintervensi. Semua profesi mau diatur oleh drafter RUU Cipta Kerja.

Luluh lantaknya sistem ekonomi akibat Covid-19 bisa saja membuyarkan asumsi para drafter.

Beruntung, Ketua DPR Puan Maharani meminta Baleg menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.

Presiden Jokowi, kemarin, akhirnya menyatakan sepakat menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.

Baca Juga: Sebelum Buka Puasa, Jokowi Sampaikan Selamat Hari Buruh

Membahas undang-undang adalah tindakan politik. Mendiskusikan RUU Cipta Kerja adalah bentuk partisipasi politik, bukan memolitisasi.

Gagasan menyederhanakan rimba belantara perizinan yang sering dilontarkan Presiden Jokowi ialah gagasan mulia.

Keinginan menciptakan lapangan kerja, terlebih di era Covid-19, adalah keharusan. Seharusnya, fokuslah ke sana. Mengapa RUU Cipta Kerja kehilangan fokus?

Mantan hakim konstitusi Maria Farida Indrati menulis di Kompas, 4 Januari 2020, ”Perlu kita kaji kembali hal yang melandasi pembentukan omnibus law itu berdasarkan tradisi dan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sehingga tak akan terjadi gejolak. Ini karena berbagai macam UU yang berlaku saat ini (yang akan dimasukkan dalam omnibus law) mengatur berbagai macam addressat (subyek) dari pusat sampai ke daerah yang biasanya terpengaruh oleh ego sektoral, serta berbagai kewenangan yang berbeda.”

Azyumardi Azra dalam artikel di Kompas, 16 April 2020, menulis, ”Lebih pedih lagi, menguatnya politik tuna-empati di lingkungan elite politik dan pemerintah.”

Maria dan Azyumardi tentu tidak mempunyai kepentingan politik partisan. Komitmennya diyakini hanya untuk tegaknya negara demokrasi konstitusional Indonesia. Mereka adalah sosok yang punya empati dan bisa menangkap suasana kebatinan masyarakat.

Seharusnya, compassion itu juga dimiliki Yang Terhormat anggota DPR. Tapi, ya, sudahlah. Antara yang ideal dan riil memang berbeda.

Baca Juga: Pekerja Migran Indonesia di Malaysia Kesulitan Bertahan Hidup, DPR Minta Pemerintah Turun Tangan

Harus diakui, RUU Cipta Kerja bermasalah. Terlalu ambisius mengatur segalanya. Jangan-jangan memang ada drafter yang ingin membawa kita balik ke era sentralisme atau bahkan ke era otoritarianisme?

Beberapa pasal menunjukkan kecenderungan menguatnya posisi pemerintah pusat. Misalnya, Pasal 251 yang menyebutkan perda provinsi dan peraturan gubernur bisa dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan presiden.

Pasal ini menempatkan Presiden menabrak putusan Mahkamah Konstitusi. MK sudah memutuskan, koreksi atas peraturan daerah merupakan kewenangan Mahkamah Agung.

Mengapa RUU Cipta Kerja memberi kewenangan kepada Presiden untuk membatalkan peraturan gubernur/bupati/wali kota atau peraturan daerah?

Pasal 170 draf RUU Cipta Kerja juga keblinger. Dalam pasal itu dirumuskan, UU bisa diubah oleh peraturan pemerintah dengan konsultasi pimpinan DPR.

Penyelundupan pasal itu—karena tidak ada yang mengakui memasukkannya—membahayakan posisi Presiden Jokowi.

Presiden yang dikenal demokratis dan memahami kebebasan pers kemudian disuguhi pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang berpotensi membahayakan demokrasi.

Baca Juga: Jokowi Tunda RUU Cipta Kerja, Tiga Organisasi Buruh Batal Unjuk Rasa

Kasihan Presiden Jokowi. Saya masih ingat dalam debat calon presiden, ia mendefinisikan demokrasi secara sederhana.

Demokrasi adalah mendengar suara rakyat.

Menunda membahas kluster ketenagakerjaan tak cukup.

Langkah koreksi konstitusional ialah Presiden menarik dulu draf RUU, menyisir pasal bermasalah, baru menyerahkannya lagi ke DPR.

Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 25-04-2020. Halaman: 02

Penulis : Laura-Elvina

Sumber : Kompas TV


TERBARU