> >

Sisi Lain Indonesia setelah Revolusi Kemerdekaan: Penyakit Sifilis Meningkat

Humaniora | 9 Maret 2024, 03:00 WIB
Salah satu propaganda saat perang kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Museum Nasional Belanda, atau Rijks Museum Amsterdam untuk kali pertama menggelar pameran besar tentang revolusi kemerdekaan Indonesia, dari kacamata Indonesia dan bukan dari pengalaman dekolonisasi Hindia Belanda menurut kacamata orang Belanda, seperti dilaporkan Associated Press, Rabu (9/2/2022). (Sumber: Rijksmuseum)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Di awal kemerdekaan, kondisi pemerintahan masih morat-marit. Ekonomi belum stabil dan kehidupan sosial masih morat marit.

Memburuknya kondisi sosial ekonomi ini terlihat dari peningkatan penyakit kelamin sifilis yang banyak melanda anak muda hingga ibu-ibu di awal kemerdekaan setelah revolusi fisik.

Pada tahun 1952, Menteri Kesehatan Soetopo, pada Kabinet Abdul Halim (Januari-September), melakukan penelitian penyakit kelamin ini yang tiba-tiba melonjak.

Dalam paparannya pada Hari Kesehatan Dunia 7 April 1953, Soetopo menjelaskan bahwa setelah Revolusi Nasional Indonesia, norma-norma sosial ambruk. "Para pemuda masa itu menuntut kebebasan tanpa batas, khususnya sehubungan dengan melonggarnya adat istiadat seksual," demikian dalam paparannya dalam buku Memelihara Jiwa-Raga Bangsa karya Viviek Neelakantan (penerbit Kompas).

Baca Juga: Atasi Penyakit Kelamin Kaum Gay dan Biseksual, Aparat Kesehatan AS akan Usulkan Antibiotik Murah Ini

Soetopo menjelaskan bahwa prostitusi berkontribusi pada penyebaran penyakit kotor itu.

"Di dalam menghadapi perobahan-perobahan yang datangnya kadang-kadang secepat kilat, pada umumnya kaum muda itu-karena mudanya-belum mempunyai persiapan yang cukup dan belum mempunyai pegangan hidup yang dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menempatkan dirinya dalam masyarakat," kata Soetopo yang juga pendiri The Venereal Disease Institut (Lembaga Penyakit Kelamin) di Surabaya, Jawa Timur, itu.

Bahkan, penyakit kelamin itu sudah menyebar pada anak-anak usia 14 tahun. Soetopo menyebut persebaran penyakit sifilis kala itu sebagai "krisis moral".

Dia berpendapat bahwa sifilis adalah indikator masalah sosial ekonomi yang lebih besar seperti ketidakamanan ekonomi, kurangnya perumahan yang layak, rekreasi yang tidak sehat, perawatan medis tidak memadai, keluarga berantakan dan dukungan sosial yang tidak memadai.

Karena itu, dia menganjurkan untuk mengatasi penyebab sosial yang mendorong penyebaran penyakit kelamin ini.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU