> >

Profil Mochtar Pabottingi, Penulis dan Eks Peneliti Utama LIPI, Meninggal di Usia 77 Tahun

Humaniora | 4 Juni 2023, 09:21 WIB
Profil Mochtar Pabottingi, tutup usia pada Minggu (5/6/2023) (Sumber: Kompas.id)

Tahun 1980, Mochtar Pabottingi berhasil memperoleh beasiswa tingkat Master selama dua tahun di Department of Sociology, University of Massachusetts di Ammherst, Massachusetts, AS, dari Fulbright Hayes.

Pada 1983 Mochtar kembali meraih beasiswa doktoral untuk empat tahun dari East-West Center yang memungkinkannya masuk ke Political Science Department, University of Hawaii di Manoa, AS.

Pada 1987 hingga 1989, Mochtar mendapat bantuan pembiayaan dari Ford Foundation atas penulisan disertasinya yang berjudul Nationalism and Egalitarianism in Indonesia, 1908—1980: Probing the Problem of Discontinuity in Indonesian Political Discourses and Practises.

Baca Juga: PM Narendra Modi Tegaskan Para Pelaku yang Sebabkan Kecelakaan Kereta Api India akan Dihukum Berat

Mochtar Pabottingi kembali ke Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) tahun 1989 dan diangkat sebagai Kepala Balai untuk bidang politik.

Tahun 1994-2001, Mochtar ditunjuk sebagai Kepala Pusat di lembaga yang sama. Tanggal 22 Juni 2000 ia meraih gelar Ahli Peneliti Utama (APU) dan memperoleh undangan untuk menjadi professor tamu di University of Wisconsin at Madison, AS pada Spring Semester 2001. Mochtar Pabotiggi diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta pada 2002.

Di bidang kepenulisan, Mochtar Pabotiggi memulainya sejak tahun 1964, yaitu ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin.

Kariernya berawal ketika cerpennya mulai dimuat di surat kabar mingguan Makassar. Hal ini membuat kepercayaan dirinya makin bertambah, sehingga tahun 1966 ia mulai kerap menulis esai dan artikel.

Dia juga menulis puisi, salah satunya di majalah Basis dan Horison (1971—1972). Namun, kepenulisan suami dari Nahia ini lebih banyak tersita oleh esai dan artikel. Karya-karyanya banyak dimuat di surat kabar Kompas (1974), Tempo (1976), dan Prisma (1977).

Selain di surat kabar atau majalah, beberapa tulisan Mochtar Pabotiggi juga dimuat di sejumlah penerbitan, di antaranya:

  • Excellence: Can We Be equal and Excellent Too? Dalam John W. Gardner dengan kata pengantar Mochtar Lubis
  • Keluar dari Kemelut, sebuah peta pemikiran baru dari E.F. Schumcher, A Guide For The Perplexed (LP3ES, 1982)
  • Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim (Yayasan Obor, 1986)
  • Political Legitimacy in South-east Asia: The Quest for Moral Authority (Stanford University Press, 1995)
  • Kumpulan puisi Suara Waktu (Erlangga, 1999)
  • Rimba Bayang-bayang (Kompas, 2003)
  • Novel Burung-Burung Cakrawala (2013).

Di dunia penulisan ia mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya hadiah pertama penulisan cerita pendek dari Gubernur Sulawesi Selatan yang ketika itu dijabat oleh A.A. Rivai dalam rangka Crash Program pembangunan daerah Sulawesi Selatan (1964).

Ignas Kleden (dalam kata pengantar Rimba Bayang-bayang, 2003) mengatakan, bahwa sajak-sajak yang dihasilkan oleh Mochtar merupakan catatan kaki untuk berbagai pengalamannya tentang pribadi, keluarga, atau sosial-politik yang identik dengan perjuangan, persaingan, dan kompetisi yang cenderung menghadirkan manusia sebagai representasi kepentingan dan sebagai kelompok-kelompok yang ingin memerebutkan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang mereka percayai sebagai tujuan terbaik.

Selain itu, ia juga berusaha mengangkat tema sejarah secara luas dalam puisinya. Dalam hal kalimat, Mochtar banyak menggunakan kalimat-kalimat yang mudah ditemukan ekuivalennya dalam risalah-risalah teologi dan filsafat atau dalam buku-buku agama, sedangkan artikulasi Longfellow adalah sesuatu yang demikian unik dan orisinil, sehingga sulit ditemukan padanannya di tempat lain.

Sementara itu, Joko Pinurbo (dalam catatan penutup Rimba Bayang-bayang, 2003) mengatakan bahwa Mochtar Pabotiggi tidak dapat digolongkan sebagai orang politik yang iseng dalam menulis puisi karena sejak awal ia sudah menunjukkan kesadaran dan kesungguhannya menulis puisi sebagai kerja kreatif.

Dia tampak berusaha untuk menghindar dari kecenderungan memperlakukan puisi sekadar sebagai wadah bagi limbah kegaduhan politik. Mengangkat dan mengolah tema politik ke dalam puisi sungguh merupakan proses kreatif yang menantang.

Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV, ensiklopedia.kemendikbud.go.id


TERBARU