> >

Pakar Hukum Tata Negara Nilai Ada 18 Pasal di RKUHP Harus Diluruskan, Ini Tiga di Antaranya

Sapa indonesia | 6 Desember 2022, 20:27 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (6/12/2022). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP telah disahkan DPR RI menjadi undang-undang. 

Pengesahan RKUHP menjadi UU ini diputuskan dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022). 

Namun ada sejumlah pasal yang dinilai bisa menimbulkan kontroversi jika RKUHP ini dijalankan di tahun 2025. 

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai ada 18 pasal yang harus diluruskan dalam RKUHP. Di antaranya Pasal 2 mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law.

Baca Juga: RKUHP Resmi Disahkan, Menkumham Yasonna: Kita Terlalu Lama Pakai Produk Kolonial!

Menurutnya living law memiliki interpretasi begitu luas, sehingga sangat berpotensi munculnya ketidakpastian hukum. 

Selain itu ada peluang penerapannya akan sangat tergantung pada penegak hukum dan penguasa. 

Kemudian pasal yang mengatur soal menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden, wakil presiden, dan lembaga negara.

Bivitri menilai aturan ini sangat rentan dipakai penguasa untuk menekan masyarakat. Terlebih penegak hukum berkelindan dengan kepentingan penguasa.

Baca Juga: Perjalanan 64 Tahun RKUHP hingga Disahkan DPR

"RKUHP ini bukan soal pemerintahan yang sekarang tetapi akan dipakai selama-lamanya. Artinya nanti akan bergantung pada iklim kekuasaan yang sedang berlangsung," ujarnya di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (6/12/2022).

Bivitri menambahkan aturan mengenai menyerang kehormatan presiden, wakil presiden dan lembaga negara akan menimbulkan stigmatisasi terhadap para pendemo lantaran dianggap sebagai bentuk lain dari kerangka penghinaan terhadap presiden, wakil dan lembaga negara.

Terlebih dalam RKUHP juga diatur mengenai demo tanpa pemberitahuan akan dianggap melanggar hukum.

Selain hal itu Bivitri juga menilai aturan pendoaan agama. Menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme serta idiologi yang bertentangan dengan Pancasila juga perlu diluruskan. 

 

"Sehingga sangat mungkin terjadi implikasi lanjutan di luar penegakan hukum formal. Jadi ini yang tidak kita inginkan dari RKUHP yang seperti ini," ujarnya. 
 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU