> >

Pasutri Tewas dalam Kericuhan Stadion Kanjuruhan, Anak Trauma Melihat Orang Tuanya Terinjak-Injak

Peristiwa | 2 Oktober 2022, 16:41 WIB
potret pasutri Aremania dan anaknya yang jadi korban kericuhan Kanjuruhan, Malang (Sumber: Dok. Ketua RT 14/ RW 8, Kelurahan Bareng, Kota Malang via kompas.com)

 

MALANG, KOMPAS.TV - MA (11), anak dari pasangan suami istri (pasutri) korban meninggal dunia dalam peristiwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022) mengalami trauma setelah melihat orang tuanya meregang nyawa akibat terinjak-injak.

Pasutri Muhammad Yulianton dan Devi Ratna membawa anak semata wayang mereka, MA (11), untuk menonton pertandingan Arema FC vs Persebaya pada Sabtu malam.

Kepada pamannya Doni, MA mengaku melihat orang tuanya terinjak-injak dalam kerumunan penonton yang panik dan berlari ke arah pintu keluar stadion.

"Anaknya Mas Anton (M Yulianton) masih trauma, saya tanya 'tahu bapak ibu jatuh diinjak-injak?' dia mengangguk, tahu," ungkap adik almarhum Anton, Doni di Breaking News Kompas TV, Minggu (2/10/2022).

Doni menceritakan, saat kejadian, ia juga menyaksikan kekacauan yang terjadi karena dirinya menonton pertandingan bersama almarhum dan almarhumah, keponakan, tetangga, serta anaknya.

Baca Juga: Gas Air Mata Picu Ratusan Kematian di Lima 1964 dan Accra 2001, Polisi di Kanjuruhan Mengulanginya

"Saya ada di tempat kejadian, sama mas, mbak ipar, dan keponakan. Saya juga membawa anak umur 10 tahun, tetangga saya juga membawa anak perempuan," ungkapnya.

Ia juga melihat kepanikan penonton setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun.

"Tribun saya, tribun 14, (orang-orangnya) diem hanya lihat, ditembak kurang lebih dua kali gas air mata," kata Doni.

"Waktu terjadi tembakan gas air mata itu, pikiran saya hanya (menyelamatkan) anak-anak," ujarnya.

Rombongan Doni yang duduk di tribun 14 lantas mencoba menghindari semburan gas air mata itu dan berlari ke arah pintu keluar.

"Kami cari pintu keluar itu berdesakan. Sudah berdesakan, panas kena gas (air mata) itu," kenang Doni.

Setelah berhasil keluar bersama anaknya, ia berusaha mencari kakak dan iparnya.

"Kurang lebih seperempat jam itu kok tidak keluar-keluar. Tiba-tiba saya dijawil anak mas saya dari belakang," kata Doni menceritakan pertemuannya dengan MA usai berhasil keluar dari Stadion Kanjuruhan.

Baca Juga: Potret Ibu yang Kehilangan Putrinya dalam Tragedi Kanjuruhan, Sang Anak Pamit Mau Nonton Arema

Doni pun mengaku kaget mendengar MA mengatakan bahwa kakak dan iparnya masih berada di dalam stadion.

Ia mengaku berlari dan mencoba masuk ke stadion, tapi gagal. Akhirnya, setelah beberapa saat ia melihat kakak iparnya digotong orang-orang melewati pintu keluar.

"Setelah itu ada yang menggotong perempuan, saya lihat celananya seperti mbak ipar saya, ternyata benar," kata dia.

"Saya nggak bisa memastikan masih hidup atau tidak," imbuhnya.

Setelah menemukan kakak iparnya itu, Doni kembali berari ke pintu stasion dan melihat kakak laki-lakinya digotong.

"Setelah mbak ketemu, saya lari ke pintu lagi. Saya lihat mas saya digotong, lalu diletakkan di samping pintu keluar," kata dia.

Doni pun mengaku kewalahan, lantaran harus menjaga anak dan keponakannya serta mencari pertolongan untuk kakaknya.

"Kami lapor ke polisi cari medis, waktu itu sibuk semua," ungkapnya.

Kemudian, ia mendengar teriakan orang yang mengatakan bahwa pihak medis berada di pintu masuk VIP Stadion Kanjuruhan.

Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Tewaskan Ratusan Orang, Bobotoh Gelar Salat Gaib

Ia pun meminta tolong kepada pihak keamanan yang berjaga, polisi maupun tentara yang ada di lokasi, untuk mengangkat dua kakaknya itu ke ruang medis.

"Waktu saya ke sana ada polisi dan tentara juga, saya minta tolong untuk memindahkan karena saya nggak kuat." ujarnya.

Doni lantas meminta tolong temannya untuk mengantar anak dan keponakannya pulang. 

Satu teman lainnya membantu Doni memantau kakaknya yang dibawa ke ruang medis.

"Saya masuk ke ruang medis, posisi itu sudah di musala kalau nggak salah. Teman saya mengabarkan kakak saya sudah meninggal dua-duanya," ujar Doni.

Doni mengaku menunggu ambulans lebih dari satu jam di ruangan medis. Tapi kemudian pihak keamanan mengimbau agar jenazah yang sudah teridentifikasi dibawa ke rumah sakit.

"Tentara bilang, yang sudah ada data saudara atau teman, ikut ke truknya tentara. Mau dibawa ke RSUD, mau divisum katanya," jelas Doni.

Sesampainya di rumah sakit, Doni melihat jenazah kakaknya bersama jenazah lain diletakkan berjejeran di area parkir karena kondisi rumah sakit yang penuh.

"Karena rumah sakitnya penuh, ditaruh di depan parkiran gitu jejer-jejer," ujarnya. 

"Terus dari pihak rumah sakit keluar mendata nama, alamat, umur," imbuhnya.

Setelah dicatat pihak rumah sakit, Doni mengaku menunggu tanpa kepastian hingga tiga jam lamanya. 

Ia pun berinisiatif untuk menelfon keluarga dan tetangganya untuk mengirimkan ambulans.

"Akhirnya saya telfon ke keluarga dan tetangga saya untuk membawa ambulans, karena saya dari awal sudah pesan nggak datang-datang," jelasnya.

Baca Juga: PSSI: FIFA Sudah Minta Laporan soal Tragedi Kanjuruhan, Mereka Bisa Datang Langsung ke Indonesia

Kedua jenazah pun dibawa menggunakan satu mobil ambulans ke rumah duka dan tiba pada waktu subuh.

Lalu, jenazah dimakamkan pada pukul 09.00 WIB.

"Sudah dimakamkan tadi jam sembilan pagi," kata Doni.

Ia mengungkapkan tak ada korban sakit yang dirawat di rumah sakit dari rombongannya.

"Semua sudah kembali ke rumah," pungkasnya.

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU