> >

PBHI: Asas Due Process of Law dalam Pro Justitia Kunci Pengungkapan Kasus Meninggalnya Brigadir J

Hukum | 5 Agustus 2022, 06:18 WIB
Kerabat memegang foto almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J saat pemakaman kembali jenazah setelah autopsi ulang di Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi, Rabu (27/7/2022). (Sumber: Kompas TV/Ant/Wahdi Septiawan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menyebut bahwa  titik kunci pengungkapan kasus meninggalnya Brigadir Pol Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J ialah penyidik perlu fokus pada kerangka Pro Justitia yang merujuk pada asas due process of law.

Artinya, pemeriksaan dilakukan secara transparan, akuntabel dan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum. 

"Salah satu prinsip utama adalah persamaan setiap orang di hadapan hukum, sebagaimana diatur Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945," kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani melalui keterangan resmi yang diterima KOMPAS TV, Jumat (5/8/2022).

Pasal tersebut berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

"Prinsip ini memandatkan makna bahwa seluruh warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum, sekalipun pejabat negara atau aparat," jelas Julius.

Termasuk, kata Julius, larangan perlakukan secara diskriminatif dalam proses hukum. 

Baca Juga: 3 Jenderal Polisi Disebut Tak Profesional, Ikut Diperiksa Dugaan Hambat Kasus Brigadir J

"Setiap warga negara, dengan berbagai latar belakang seperti mahasiswa, aktivis LSM, Anggota TNI, Anggota Polri, Menteri, bahkan Presiden sekalipun, berkedudukan dan memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum," imbuhnya.

Ia menjelaskan, dalam kerangka criminal justice system (sistem keadilan kejahatan), konstruksi persamaan di mata hukum merujuk pada asas due process of law, yang wajib dipatuhi dalam penyidikan kematian Brigadir J. 

"Negara harus memastikan setiap pihak yang terlibat harus dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, baik sebagai saksi atau tersangka," jelasnya.

"Harus dipastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak seperti adanya intimidasi atau tekanan ataupun paksaan bagi siapapun yang dapat memberikan keterangan maupun informasi demi titik terang pengusutan tragedi ini," imbuhnya.

Menurut PBHI, Due Process of Law dalam kerangka proses hukum pidana pada penyidikan kematian Brigadir J mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan apa pun.

Baca Juga: Kapolri Kantongi Identitas Polisi yang Rusak, Ambil, Simpan CCTV di Area Rumah Ferdy Sambo

"Kinerja Tim Khusus Mabes Polri dapat dinilai dari indikator proses Pro Justitia, yakni memastikan peristiwa yang terjadi, mencari alat bukti seperti saksi, CCTV, administrasi dan penggunaan senjata api, serta informasi yang menguatkan substansi, salah satunya dengan menggunakan metode investigasi kejahatan (penyidikan) berbasis ilmiah (scientific crime investigation)," jelas Julius.

Ia menyebutkan, setiap keterangan saksi harus diuji secara ilmiah dan tidak boleh bersifat sepihak, sebab beragam keganjilan yang terjadi di mata publik dan keluarga Brigadir J harus terjawab secara transparan dan akuntabel. 

PBHI menilai, tranparansi dalam pro justitia dinilai dari kemampuan Tim Khusus dalam menjelaskan setiap proses penyidikan dan perkembangan yang terjadi serta target yang akan dicapai demi memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada publik, bukan hanya keluarga Brigadir J. 

"Begitu juga dengan akuntabilitas dalam pro justitia, di mana pihak-pihak yang disebutkan selama ini berlatar belakang sama, yakni Anggota Polri dengan kepangkatan yang berbeda jenjang," terangnya.

PBHI menganggap, kepastian akuntabilitas dengan cara menguatkan peran lembaga pengawasan eksternal seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, LPSK, Kompolnas, bahkan Kejaksaan penting untuk ditegakkan.

"Komnas HAM wajib memastikan peristiwa kematian Brigadir J apakah telah terjadi atau tidak pelanggaran HAM, baik yang bersifat mandiri maupun adanya unsur komando," jelas Julius.

"Selain itu, menurut PBHI, Komnas HAM juga harus memeriksa apakah proses penyelidikan-penyidikan oleh Polri juga menimbulkan pelanggaran HAM, baik akibat undue delay (pelambatan proses) maupun apabila hak-hak para pihak yang terlanggar selama proses," imbuhnya.

Hal itu, kata dia, dengan catatan bahwa Komnas HAM tidak berwenang untuk bertindak secara Pro Justitia karena bukan Penyidik. Demikian juga dengan Komnas Perempuan untuk memeriksa apakah ada atau tidak dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh Ibu P. 

Baca Juga: Daftar Lengkap TR Kapolri Imbas Kasus Penembakan Brigadir J, dari 25 Baru 10 Personel Dimutasi

"Hal ini juga berkaitan dengan LPSK untuk memastikan setiap saksi dan korban dalam keadaan aman dan tanpa gangguan apapun," jelas Julius.

Sedangkan Ombudsman RI, menurut PDHI, wajib memeriksa keseluruhan proses penyelidikan-penyidikan telah dilengkapi oleh administrasi yang sah dan tanpa ada rekayasa. 

Kemudian, Kompolnas perlu memeriksa profesionalitas serta etik para Anggota yang terlibat maupun tim penyelidik-penyidik sejak awal pemeriksaan peristiwa kematian Brigadir J. 

"Serta Kejaksaan untuk memastikan pro justitia telah memenuhi syarat formil dan materiil untuk dapat dituntut ke pengadilan, termasuk keutuhan kronologis peristiwa, sinkronisasi status pihak yang terlibat serta perbuatan yang disangkakan dan akan didakwa," pungkasnya.

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU