> >

AIMAN- Ganja, Obat atau Merusak?

Aiman | 4 Juli 2022, 08:00 WIB
Santi Warastuti, bersama suami dan anak perempuannya, Pika, yang menderita lumpuh otak atau Cerebral Palsy di Car Free Day (CFD) Bundaran HI, Jakarta, menyuarakan legalisasi ganja medis. (Sumber: Twitter @andienaisyah)

Saya berkunjung khusus untuk mengetahui lebih dalam, apa yang sesungguhnya terjadi pada seorang ibu yang pada Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day) pekan lalu di seputaran Sudirman-Thamrin membawa spanduk bertuliskan, TOLONG ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS!

Kejang dan Reset Otak

Adalah Santi Warastuti, seorang Ibu yang berusia 43 tahun dan memiliki anak perempuan, Pika, 14 tahun menderita lumpuh otak atau Cerebral Palsy.

Padahal menurut Santi, 7 tahun awal kehidupan Pika normal. Baru setelah usia 7 tahun, Pika mulai menunjukkan kelumpuhan otaknya. Bahkan kini, kondisinya saya melihatnya sendiri, sangat memprihatinkan.

Setiap kali ia belajar berkata sesuatu, misalnya mama atau papa, lalu semua terhapus alias me-reset kembali setelah serangan kejang datang ke dirinya. Dan begitu seterusnya. 

"Saya menjaga agar Pika tidak kejang, mas," kata Santi kepada saya.

"Saya ini sudah melakukan pengobatan selama 7 tahun. Jadi bukan ujug-ujug minta ganja medis," tambah Santi.

Apakah "Ganja Medis" Satu-satunya?

Saya kemudian bertanya, apakah ganja medis merupakan satu-satunya pengobatan untuk menghindari kejang ini?

Santi merujuk pada pengalaman sesama ibu, Dwi Pertiwi, yang juga memiliki anak bernama Musa. Musa mengalami penyakit yang sama, Cerebral Palsy Syndrome. Dwi memberanikan diri untuk pergi ke Australia, untuk mendapatkan pengobatan ganja medis di sana.

Dwi mendapati Musa berkembang lebih baik. Karena kejang bisa dihindari, dan kondisinya semakin membaik. Semua itu dituangkan ke dalam video Youtube, LGN TV, dengan judul Film Dokumenter Musa.

Namun uang persediaannya menipis, sehingga ia harus kembali ke Indonesia. Sementara di Indonesia, segala bentuk turunan ganja termasuk ganja medis dilarang. Karena undang-undang mengamanatkan ganja dan turunannya adalah jenis narkotika paling berbahaya alias golongan 1. 

Ganja 5 Gram, Hukuman Seumur Hidup

Bahkan berdasarkan Undang-Undang Narkotika, memilikinya di atas 5 gram saja, ancaman hukumannya bisa seumur hidup!

Musa kemudian tidak lagi mendapatkan pengobatan ganja medis, dan kondisinya berangsur memburuk, hingga akhirnya Musa meninggal.

Kondisi ini mengingatkan pada kasus Fidelis Arie di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 2017 lalu. Istrinya yang sakit penyakit langka terkait dengan kelainan sumsum tulang belakang, sempat membaik dengan menggunakan pengobatan ganja. 

Lalu belakangan Fidelis ditahan karena menggunakan ganja meski untuk pengobatan istrinya. Kekurangan Fidelis adalah, ia menggunakan ini tidak berdasarkan petunjuk dokter alias inisiatif sendiri.

Istrinya pun meninggal, tepat di hari ke-32 Fidelis ditahan.

Ganja antara "THC" dan "CBD"

Dalam ganja memang terdapat dua bagian utama, Tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD).

THC jika dikonsumsi memiliki efek psikoaktif. Ini bisa berakibat "high" alias rasa senang berlebihan hingga cemas.  

Sementara CBD, memiliki efek medis pada sejumlah penyakit termasuk mengurangi risiko kejang pada penderita epilepsi maupun cerebral palsy.

Sekjen Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), dokter Erfen Agustiawan Suwangto, membenarkan ada efek medis pada CBD. Sehingga CBD inilah yang sering disebut dengan ganja medis. Sementara efek "high" pada THC dibuang.

"Memang ada bukti medis penggunaan ganja medis (CBD) yang bisa mengurangi efek buruk dari sejumlah penyakit tertentu termasuk Cerebral Palsy dan kejang lainnya," kata Dokter Erfen di program AIMAN yang tayang pada Senin (4/7/2022)  di KOMPAS TV pukul 20.30 WIB. 

Saya sempat juga berbincang dengan Koordinator Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Ahwil Luthan. Menurutnya, seberapa pun baiknya CBD, unsur THC masih ada di kandungan CBD. Inilah yang dikhawatirkan, bisa disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

"Dalam CBD masih ada terkandung THC," ungkapnya kepada saya di Program AIMAN. 

Kepala BNN Komjen Pol Petrus Reinhard Golose yang kebetulan saya temui di Lapangan Tembak Perbakin, (Minggu, 2 Juli 2022), pun juga mengungkapkan hal yang sama.

Seperti dua mata pisau yang teramat tajam!

Ada risiko bahwa generasi ke depan yang berpotensi menyalahgunakan akan lebih besar biayanya. Sementara para penderita penyakit tertentu dan langka, juga membutuhkannya.

Ada satu solusi sesungguhnya. Benarkah hanya ganja satu-satunya yang bisa digunakan yang terbaik untuk sejumlah penyakit ini?

Jika jawabannya tidak, maka kontroversi ini tak perlu dilanjutkan. Tutup buku soal ganja.

Tetapi jika jawabannya, iya, ganja satu-satunya yang terbaik berdasarkan penelitian ahli, maka perlu dipikirkan jalan keluar dari semua jalan kuldesak ini.

Bagaimanapun potensi penyembuhan terlebih penyakit langka, agar mereka bisa bertahan dan hidup berkembang merupakan tujuan utama.

Tetapi menjaga agar generasi tak diracuni oleh para pengedar dan penyalahguna, adalah segalanya.

Pasti ada jalan keluar, untuk menjaga keduanya!

Saya Aiman Witjaksono... Salam! 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU