> >

Jimly Asshiddiqie Ingatkan Amendemen UUD Demi Perpanjang Jabatan Presiden Bisa Berujung Pemakzulan

Politik | 8 Maret 2022, 15:49 WIB
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie memberikan saran kepada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengingatkan kepada banyak pihak yang mendorong wacana penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden.

Dia menilai wacana tersebut merupakan sesuatu yang negatif. Sebab, wacana perpanjangan masa jabatan presiden dapat merusak demokrasi.

Baca Juga: Kapolda Metro Geram Marak Kejahatan Jalanan: Catat Para Kapolsek, Saya akan Datang ke Lokasi Rawan!

Menurut Jimly, upaya memperpanjang masa jabatan presiden dengan mengamendemen UUD 1945 tidak mungkin dilakukan.

Sebab, perubahan UUD diperuntukkan bagi kepentingan besar dan jangka panjang. Tidak untuk kepentingan jangka pendek seperti memperpanjang masa jabatan presiden saat ini.

Dia mencontohkan, amendemen UUD dilakukan untuk menghidupkan kembali garis-garis besar halauan negara (GBHN).

Baca Juga: Ketika Kapolda Metro Jaya Minta Bantuan TNI Amankan Jakarta, Ini Jawaban Panglima Andika Perkasa

"Itu saja enggak mungkin sekarang ini. Apalagi untuk urusan kepentingan jangka pendek atau memperpanjang kepentingan sendiri," tutur Jimly.

Menurut dia, jika amendemen UUD 1945 tetap dipaksakan, maka dapat berimplikasi terjadinya konflik di masyarakat.

"Tidak masuk akal dan tidak mungkin. Kalau dipaksakan bisa ribut. Karena itu berarti pengkhianatan kepada negara," ujarnya.

Baca Juga: Pernyataan Jokowi Taat Konstitusi Tak Tegas, Hadar Nafis: Kalau Diubah Tunda Pemilu, Taat Juga?

Bahkan, Jimly mengingatkan bukan tidak mungkin pula bakal terjadi potensi impeachment atau pemakzulan atas presiden.

Jimly pun memberikan pandangan jika presiden tetap mengeluarkan dekrit.
Dia menyebut kondisi seperti itu pernah terjadi pada Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid.

"Misalnya yang disampaikan oleh Yusril (Yusril Ihza Mahendra) yakni boleh bikin dekrit. Kan Gus Dur pernah bikin dekrit. Dia diberhentikan gara-gara itu. Sebab oleh MA dinilai itu melanggar hukum," ucapnya.

Baca Juga: Politikus PPP: Jangan Ada yang Seret-seret Jokowi ke Usulan Penundaan Pemilu

"Hukum itu akhirnya di tangan hakim. Jadi Kalau ini nanti dibawa ke pengadilan baik ke MK maupun MA itu pemaksaan perubahan konstitusi apalagi misalnya memaksakan dengan dekrit artinya melanggar sumpah, melanggar konstitusi."

Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan terkait penundaan Pemilu 2024, rata-rata partai politik memandang itu sebagai hal yang negatif.

"Partai mana yang setuju? PDI-P, Gerindra, NasDem, partai opisisi non pemerintah Demokrat dan PKS tidak setuju. Mayoritas tak mau," ujar Jimly.

Baca Juga: Menko Polhukam Mahfud MD: Hingga Saat Ini, Tak Pernah Ada Pembahasan tentang Penundaan Pemilu!

"Semua melihat ini negatif. Niat buruk merusak demokrasi dan menjerumuskan presiden."

Jimly yang juga anggota DPD itu pun mengatakan, jika mayoritas anggota DPD dipastikan menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden tersebut.

Baca Juga: Istana Sebut Statement Jokowi soal Pemilu 2024 Sudah Jelas: Tidak Usah Kita Otak-atik Lagi

 

Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas.com


TERBARU