> >

Seniman Bantul Perakit Transformers Itu Bernama Eri Sudarmono

Laporan khusus | 15 Februari 2022, 07:00 WIB
Eri Sudarmono, seniman robot asal Bantul, Yogyakarta. Replika Transformers Sudah Dijual ke Cina, Jerman dan Amerika. (Sumber: Kompas.TV/Hedi Basri)

"Tinggal memahami elemen logam aja, sama semua, kok," tambahnya.

Ruang Pajang Motor Klasik Milik Eri Sudarmono (Sumber: Kompas.TV/Hedi Basri)

Eri memilih motor sebagai bahan utama membuat replika robot karena rongsokan kendaraan roda dua di Yogyakarta cukup melimpah, mudah didapatkan, dan harganya juga relatif murah.

"Kalau motor tua begini, tidak bisa diapa-apain, kan, mending dijual. Diperbaiki juga sudah tidak memungkinkan," kata Eri sambil menunjuk Yamaha yang produksinya sudah tidak lagi bisa terdeteksi. Di motor itu hanya tercantol mesin dan rangka utama.

Satu motor tua dibeli Eri dengan berupa-rupa harga. Mulai dari Rp400 ribu sampai paling mahal mencapai Rp1.400.000.

Satu motor bisa jadi satu sampai dua kaki robot. Tergantung dimensinya. Sedangkan satu robot yang tingginya rata-rata dua atau tiga meter, membutuhkan lima hingga tujuh motor.

Robot-robot itu dihargai dari mulai Rp30 juta hingga ratusan juta Rupiah.

"Ini tergantung pesanan dan elemennya. Kalau harga motornya mahal, harga robotnya juga agak tinggi," kata Eri sambil menunjuk replika robot warna biru yang dibuat dari motor Suzuki Family seri FR 80.

Robot biru itu, jelas Eri, harganya sedikit di atas karena surat-suratnya masih ada dan hidup. Tidak ada yang dibuang dari motor itu, bahkan bannya juga dipakai sebagai ornamen robot. Kelistrikannya pun masih berfungsi.

"Ini warna biru bawaan. Masih ada surat-suratnya. Langka. Nanti surat-suratnya akan diserahkan ke pemesan robotnya juga, harganya menyesuaikan," tambahnya.

Bekas Kandang Ayam dan Pesanan Anggota DPR

Eri Sudarmono dan pekerjanya yang lagi mengelas. (Sumber: Kompas.TV/Hedi Basri)

Usai ngobrol beberapa menit di galeri lukisannya, Eri mengajak saya bergeser ke bagian ketiga studionya. Mereka menyebutnya bengkel. 

Ruang yang sebagian atapnya terbuka itu memang serupa bengkel. Semua perkakas untuk mempreteli mesin ada di situ. Gergaji besi, mesin las, hingga semprotan cat. Oli membandel menutupi lantai semen, dan ban-ban bekas disusun di langit-langit.

"Dulunya ini kandang ayam," kata Eri menjelaskan. Saya cukup terkejut.

Di bengkel yang luas kurang lebih sama dengan dua kali luas lapangan voli itu terdapat sekitar 14 pekerja. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar dan tidak berlatar belakang seni.

Eri mengaku senang dengan mereka karena ia bisa sekaligus berbagi. Mereka yang awalnya hanya bisa ngelas, misalnya, "sekarang, tidak perlu saya arahkan terlalu banyak, mereka sudah tahu sendiri".   

Tak hanya warga sekitar, beberapa ada mahasiswa yang tengah melakoni Praktik Kerja Lapangan (PKL). Bahkan juga ada sarjana kehutanan yang bekerja di tempat Eri.

Eri beberapa kali sempat mengarahkan pekerjanya agar menatap secara presisi replika macan yang terletak persis di depan posisi kami berdiri.

"Ini mungkin seminggu lagi, pesanan Rachmat Gobel, anggota DPR," jelasnya.

Saat saya tanya apakah harga replika macan itu mencapat ratusan juta, Eri hanya tersenyum.

"Tidak sampai. Ini kurang lebih menghabiskan 10-15 motor," jawabnya.

Terletak di posisi yang berbeda, ada juga satu kerangka replika lain yang ukurannya nyaris sama dengan replika macan tadi.

"Itu apa, Mas?"

"Ini bagong"

Pesanan Mengantre, Tawaran Pindah, dan Sebuah Mimpi

Kami kemudian berpindah ke sudut bengkel, tempat para pekerja Eri beristirahat. Di sana mereka biasa minum es teh manis sambil mendengarkan lantunan musik dangdut koplo.

Saya kembali menyodorkan pertanyaan: selain platform WhatsApp dan Instagram, adakah platform lain yang digunakan Eri untuk memasarkan karya-karyanya?

"Cukup di Instagram saja dulu," jawabnya.

Eri memang enggan bekerja ngoyo atau memaksakan diri. Ia hanya mau fokus mengerjakan tiap pesanan satu per satu dengan sebaik mungkin.

"Sesuai pesanan saja. Ini saja antriannya masih sampai lebaran. Orang mesannya paketan. Ada yang langsung pesan empat, lima, enam," jawab Eri.

Ia kemudian membuka smartphone-nya dan memperlihatkan ke saya daftar pesanan yang ia perkirakan baru akan rampung akhir puasa mendatang.

Karena kepiawaiannya, Eri beberapa kali diminta orang untuk mengembangkan Transformers-nya di luar Eri Studi0 Art.

Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), adalah salah satu orang yang sempat membujuk Eri agar ia memperluas cabang ke Jakarta. Alasannya, karena limbah motor bekas banyak di Ibu Kota. Tawaran serupa dari Malaysia pun sempat pula ia terima.

Tapi Eri belum tergiur untuk melakukan itu semua. "Di Jogja juga masih banyak motor-motor bekas," jawabnya. Ia masih fokus menyelesaikan mimpinya yang lain:

"Masih perlu bikin robot bergerak, punya kami baru lampu yang bisa nyala. Dan itu biayanya mahal, satu gerakan saja butuh modal ratusan juta."

Sebelum pertemuan kami selesai, saya sempat menanyakan Eri lagi satu hal: "Bercita-cita masuk Transformers beneran nggak, Mas?" 

Sambil tersenyum Eri menjawab: "Hampir semua orang menginginkan itu."

Penulis : Hedi Basri Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU