> >

Gagal Mediasi, Jokowi Tak Bersedia Bayar Utang Rp60 Miliar ke Seorang Warga Asal Padang

Peristiwa | 27 Januari 2022, 08:08 WIB
Presiden Jokowi saat memberikan keterangan terkait pasokan batu bara, LNG, dan harga minyak goreng pada Senin (3/2/2022). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Menteri Keuangan, hingga DPR RI tak bersedia membayar utang sebesar Rp60 miliar kepada warga Padang, Sumatera Barat, bernama Hardjanto Tutik. 

Hal itu diketahui setelah upaya mediasi antara kedua belah pihak mengenai gugatan utang pemerintah sejak tahun 1950 tidak menemui titik terang alias gagal.

Baca Juga: Terlilit Utang, Pria di Samarinda Nekat Jadi Jambret, Rata-rata Korbannya Ibu Rumah Tangga

Mediasi yang difasilitasi oleh hakim Reza Himawan Pratama itu diketahui digelar di Pengadilan Negeri Padang pada Rabu (26/1/2022).

Dalam mediasi tersebut, tidak ditemui kesepakatan antara penggugat yakni Hardjanto Tutik dengan tergugat yaitu Presiden Jokowi, Menteri Keuangan dan DPR RI. Pihak tergugat tidak bersedia membayar utang kepada Hardjanto Tutik.

Pihak tergugat yakni Menteri Keuangan yang diwakili 12 pengacara kemudian memberikan jawaban tak bersedia membayar utang.

Itu karena surat obligasi yang dimiliki Hardjanto dianggap telah kedaluwarsa karena lewat dari lima tahun sejak tanggal ditetapkannya keputusan pelunasan yakni 28 November 1978 jika tidak diuangkan.

Baca Juga: KPK Dalami Keterangan Ubedilah Badrun soal Dugaan KKN Dua Putra Jokowi, Gibran dan Kaesang

Adapaun aturan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 466a/1978.

"Berdasarkan hal tersebut di atas oleh karena surat obligasi yang diklaim oleh penggugat sebagai mana mestinya tidak dimintakan/ditagihkan pelunasannya paling lambat lima tahun sejak KMK tersebut, maka surat obligasi tersebut jadi daluarsa, sehingga proposal permohonan penggugat tidak dapat kami penuhi," kata Didik Hariyanto dan kawan-kawan melalui keterangan tertulisnya yang dikutip dari Kompas.com pada Kamis (27/1/2022).

Menanggapi hal itu, kuasa hukum penggugat Amiziduhu Mendrofa angkat bicara. Pihaknya mengaku kecewa dengan jawaban pihak tergugat yang tak bersedia membayar utang kepada kliennya.

"Ini jawaban Presiden dan Menteri Keuangan tidak mau membayar. Saya sangat kecewa. Harusnya, klien saya mendapat penghargaan karena berjasa membantu negara, sekarang uangnya belum dikembalikan," ujar Mendrofa.

Baca Juga: Jokowi akan Perjuangkan Isu Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas pada Presidensi G20

Menurut Mendrofa, sangat aneh alasan pihak tergugat tidak bersedia membayar utang karena kedaluwarsa seperti KMK tersebut.

Padahal, kata dia, KMK itu mengangkangi Undang-Undang nomor 24 tahun 2002, tentang surat utang negara (obligasi) tahun 1950.

Di mana disebutkan bahwa program rekapitalisasi bank umum, pinjaman luar negeri dalam bentuk surat utang, pinjaman dalam negeri dalam bentuk surat utang, pembiayaan kredit progam, yang dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai surat jatuh tempo.

"Dalam undang-undang sudah dinyatakan sah, kenapa di KMK bisa disebut kedaluwarsa. Aneh, utang kok bisa kedaluwarsa," ucap Mendrofa.

Baca Juga: Jokowi: Satu Per Satu Ekspor Bahan Mentah akan Saya Stop, Silakan Gugat!

Mendrofa menegaskan undang-undang jelas lebih tinggi tingkatannya daripada KMK yang belum terdaftar dalam lembaran negara Republik Indonesia.

Mendrofa pun menyinggung soal kliennya yang sudah membantu pemerintah ketika negara memasuki masa sulit.

"Tapi sekarang klien saya yang dipersulit untuk meminta uangnya kembali," tutur Mendrofa.

Menurut Mendrofa, karena mediasi gagal maka pihaknya siap melanjutkan gugatan tersebut ke persidangan.

"Akan lanjut ke sidang nantinya," kata Mendrofa.

Sebelumnya diberitakan, seorang warga Padang, Sumatera Barat, Hardjanto Tutik menggugat Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait utang Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950.

Baca Juga: KSP soal Ambil Alih Kelola Wilayah Udara dari Singapura: Ini Mempertegas Integritas Teritorial NKRI

Hardjanto yang merupakan anak kandung dari Lim Tjiang Poan, pengusaha rempah, meminjamkan uangnya kepada Pemerintah Republik Indonesian ketika itu.

Kuasa hukum Hardjanto, Amiziduhu Mendrofa, menjelaskan proses utang piutang berawal dari dikeluarkannya undang-undang darurat RI No. 13 tahun 1950 tentang pinjaman darurat, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 18 Maret 1950 dan ditandatangani Presiden RI, Soekarno.

"Dengan adanya Undang-Undang itu dan negara sedang dalam kesulitan maka saat itu Lim Tjiang Poan meminjamkan uangnya kepada Pemerintah RI," kata Mendrofa kepada Kompas.com, Jumat (21/1/2022) di Padang.

Menurut Mendrofa, berdasarkan bukti penerimaan uang pinjaman oleh tergugat yang ditanda tangani oleh Sjafruddin Prawiranegara selaku menteri keuangan tahun 1950 sebesar Rp 80.300, dengan bunga sebesar 3 persen per satu tahun, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Mantan Bupati Buru Selatan Maluku, Tagop Sudarsono Soulisa Jadi Tersangka Suap dan Pencuciang Uang

Mendrofa mengatakan pada bukti surat pinjaman pemerintah tahun 1950 dengan nilai satu lembar adalah sebesar Rp 10.000 dan jumlah lembaran pinjaman pemerintah RI sebanyak 3 lembar dengan, nomor X 7155505 X 715514 dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 30.000 serta foto kopi.

Bukti surat pinjaman pemerintah tahun 1950 dengan 1 lembar sebesar Rp 1000 dan jumlah pinjaman pemerintah RI sebanyak 36 lembar.

Bunga pinjaman 3 persen per satu tahun dari pokok pinjaman Rp 80.300, bunga satu tahun Rp 2.409 dan bunga pinjaman pokok dikonversikan pada emas murni, maka dapat emas seberat 0,603 kg per satu tahun.

Pinjaman Pemerintah Indonesia, terhitung dari tanggal 1 April 1950 sampai 2021 sudah 71 tahun X bunga dikonversikan dengan emas 0,633 kg adalah sebanyak 42,813 kg emas murni.

"Jika diuangkan sekarang mencapai Rp 60 miliar," kata Mendrofa.

Baca Juga: Grebek Kantor Pinjol Ilegal di PIK, Polisi: Kebanyakan Pekerjanya Adalah Anak-anak

Mendrofa mengatakan, setelah proses peminjaman dilakukan, Lim belum sempat mengambil bunga maupun pinjaman pokoknya.

"Awalnya Lim belum mengambil bunga atau pinjaman pokoknya karena peduli dengan kondisi pemerintah yang kesulitan keuangan," ucap Mendrofa.

Hingga tahun 1975, Lim mulai sakit-sakitan dan kemudian tahun 2011 meninggal dunia.
Setelah meninggal, warisan Lim dilimpahkan ke anaknya sehingga anaknya Hardjanto baru mengetahui tentang keberadaan surat utang negara itu.

Menurut Mendrofa, kliennya sempat meminta uang itu ke negara, namun ditolak dengan alasan sudah kedaluwarsa.

"Hingga akhirnya beliau bertemu saya dan meminta untuk mengurusnya melalui gugatan pengadilan," kata Mendrofa.

Baca Juga: Gerindra Marah, Kasus Edy Mulyadi Hina Prabowo Macan Mengeong Tak Bisa Selesai Hanya Minta Maaf

 

Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas.com


TERBARU