> >

Seorang Ibu Hamil Nekat Jual Ginjal demi Lunasi Utang, Begini Pandangan Hukum soal Transaksi Organ

Hukum | 22 Januari 2022, 16:22 WIB
Ilustrasi. Seorang ibu hamil nekat jual ginjal demi melunasi utang sebesar Rp1 miliar karena gagal dalam berbisnis minyak goreng. Lantas, apakah praktik jual beli organ tubuh manusia seperti ginjal itu ada aturannnya? (Sumber: iStock Photo/SvetaZi)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kisah seorang ibu hamil yang nekat jual ginjal demi melunasi utang sebesar Rp1 miliar, telah menyita perhatian publik.

Perempuan yang bernama Melvi Monita itu mengaku, utang dengan nilai yang tak sedikit tersebut terus tumbuh akibat kegagalan bisnis minyak gorengnya.

"Kenapa saya bisa terlilit utang, ya karena kan saya baru mulai bisnis. Bisnis jualan minyak goreng sama jualan online gitu," ungkap Melvi kepada Tribun Jakarta, Jumat (21/1/2022).

Namun, usai mendengar nasib buntung yang menimpa Melvi, kemudian muncul pertanyaan, apa boleh seseorang melakukan transaksi jual beli organ tubuh seperti itu?

Baca Juga: Seorang Ibu Hamil 7 Bulan di Depok Jual Ginjal, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Jual beli organ tubuh manusia dalam kacamata hukum

Di Indonesia sendiri, sejatinya terdapat beberapa regulasi atau peraturan yang menyoal aktivitas jual beli organ tubuh manusia.

Pertama, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Sehingga, akan ada sanksi pidana dan denda bagi siapa pun yang kedapatan dengan sengaja melakukan praktik jual beli organ tubuh manusia.

"Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," bunyi Pasal 192 UU Nomor 36 Tahun 2009.

Baca Juga: Rugi Rp1 Miliar Gegara Bisnis Minyak Goreng, Ibu Hamil 7 Bulan di Depok Nekat Jual Ginjal

Lebih lanjut, pada awal tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah secara tegas melarang kegiatan transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk transaksi jual beli.

Pasal 3 ayat (1) dari regulasi itu menyebutkan, transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan dengan tujuan kemanusiaan.

"Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun," disambung oleh Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 53 Tahun 2021.

Baca Juga: Kisah Para Penjual Ginjal: Bayar Utang Nikah, Beli Gadget hingga Terlilit Pinjol

Kode etik dunia kesehatan soal jual beli organ tubuh manusia

Melansir laman firma hukum Persekutuan Doni Budiono dan Rekan (PDB), dunia kesehatan pun sebetulnya memiliki kode etik yang mengatur masalah jual beli organ tubuh manusia.

Dalam kode etik tersebut, organ tubuh manusia sebetulnya tidak bisa diberikan atau didonorkan secara bebas karena ada beberapa ketentuan.

Salah satunya, pendonor tidak dapat melakukan transplantasi organ vitalnya untuk orang lain jika belum meninggal dunia.

Lalu, untuk beberapa organ tertentu seperti ginjal dan hati bisa ditransplantasi, dengan catatan si pendonor mesti melakukannya secara suka rela.

Namun, sejak zaman dahulu, etika kedokteran telah menekankan bahwa tidak boleh menyembuhkan seseorang dengan cara membunuh orang lain.

Di samping itu, dunia kesehatan juga memegang prinsip, transplantasi organ tubuh manusia tak boleh dilakukan sebagai praktik jual beli.

Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa yang diperbolehkan itu adalah donor organ tubuh manusia dengan niat membantu sesama, bukan komersil.

 

Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV/Tribun Jakarta/PDB


TERBARU