> >

Profil Tim Mawar, Ada Nama Pangdam Jaya Mayjen Untung Budiharto yang Pernah Jadi Anggota Didalamnya

Peristiwa | 7 Januari 2022, 14:07 WIB
Tim Mawar Kopassus (Sumber: Kontras.org)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mempersoalkan keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menunjuk Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.

Kontras mengingatkan bahwa Untung Budiharto termasuk dalam daftar anggota Tim Mawar yang terkait kasus penghilangan paksa sejumlah orang pada 1997/1998.

"Untung Budiharto termasuk dalam daftar anggota Tim Mawar bentukan Mayjen Prabowo Subianto yang namanya telah disebut dalam laporan investigasi Komnas HAM terkait kasus penghilangan paksa tahun 1997/1998," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty, Kamis (6/1/2022).

Menurut Tioria, pengangkatan Untung menambah bukti bahwa negara tidak melihat rekam jejak seseorang dalam menduduki jabatan tertentu.

Bahkan dalam catatannya, sebelum Untung dua anggota tim mawar juga sudah masuk ke dalam kementerian.

Mengapa eks Tim Mawar dikecam untuk menjadi pejabat publik? Berikut penjelasan yang telah dirangkum Kompas.tv dari beragam sumber, mulai dari apa itu Tim Mawar hingga aktivis yang hingga kini masih hilang.

Baca Juga: Sosok Mayjen Untung Budiharto, Eks Tim Mawar Kopassus yang Jadi Pangdam Jaya

Apa Itu Tim Mawar?

Tim Mawar adalah sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk melakukan operasi penculikan.

Tim Mawar sendiri dibentuk atas perintah dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Adapun dasar pembentukan Tim Mawar yaitu karena peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli.

Pada 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah. Suasana di Jalan Diponegoro, Jakarta, begitu mencekam.

Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi, terutama terkait dualisme partai politik di Indonesia.

Usai peristiwa tersebut Tim Mawar banyak terlibat terutama bertugas untuk mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror.

Bahkan Tim Mawar makin dipercaya negara untuk melakukan praktik penghilangan paksa sejak 1997-1998. Terutama menyasar para lawan politik hingga aktivis yang mengganggu kekuasaan.

Pada 18 Januari 1998, terjadi ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kejadian ini membuat Tim Mawar semakin berpengaruh dalam urusan keamanan.

Tim Mawar menyusun rencana untuk menangkap sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat dalam insiden ledakan bom tersebut.

Aktivis yang Masih Hilang

Praktik penghilangan paksa baru mendapat perhatian setelah peristiwa 27 Juli 1996, bentrokan yang terjadi antara kelompok Megawati dengan Soejardi dalam konflik Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Adapun mereka yang hilang merupakan para aktivis demokrasi dan lawan-lawan politik dari pemerintahan Orde Baru.

Salah satunya, para aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dianggap sebagai dalang Kudatuli oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Soesilo Soedarman.

Pada 12 Oktober 1996, Komnas HAM melalui Tim Pencari Fakta menyelidiki peristiwa Kudatuli. Hasilnya, Komnas HAM kemudian merilis laporan bahwa setelah peristiwa tersebut tercatat 5 orang meninggal dunia, 23 orang hilang, dan 149 orang luka-luka.

Bahkan, hingga saat ini dari angka penghilangan paksa tersebut, 1 orang dinyatakan meninggal, yaitu Leonardus Gilang, sembilan orang dilepaskan, dan 13 lainnya masih menghilang sampai saat ini.

Sembilan orang yang dilepaskan, yaitu Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faizol Reza, Rahardjo Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, dan Andi Arief.

Sementara 13 orang lainnya yang masih menghilang hingga hari ini, yaitu Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul , Yani Afri, Sonny Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Kambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail.

Akibat hilangnya belasan aktivis, kemudian para prajurit TNI AD diadili dalam Pengadilan Militer. Namun, hukuman yang diputuskan menuai kecaman hingga sekarang.

Menurut penilaian Kontras, Pengadilan Militer dinilai telah gagal menghukum para prajurit TNI yang menjadi aktor hilangnya para aktivis.

Baca Juga: Amnesty Internasional Soroti Eks Tim Mawar di Kementerian Pertahanan

Bahkan, Pengadilan Militer juga tidak dapat memberikan keterangan mengenai keberadaan korban yang masih hilang.

Padahal, Kontras menilai hal tersebut penting untuk mencegah berulangnya penghilangan orang.

Selain itu, keputusan Pengadilan Militer yang menerima banding empat prajurit Militer tanpa pemecatan dinilai berat sebelah karena melukai keluarga korban.

Dari hal itu menunjukan titik terang bahwa reformasi terhadap pengadilan militer yang tertutup dan otokratif harus segera dilakukan.

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU