> >

Respons Pro Kontra Permendikbud 30, Komisi X DPR Ingatkan Tidak Khawatir Berlebihan

Peristiwa | 12 November 2021, 12:28 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menyatakan soal Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, seluruh pihak diharapkan untuk tidak khawatir berlebihan. (Sumber: Tangkapan Layar Kompas TV)

Guna meminimalisir pro dan kontra di masyarakat, pihaknya mendorong keterlibatan ahli hukum untuk memperjelas diksi agar tidak menimbulkan persoalan.

"Kami maunya ada sanksi yang tegas lebih berat dan si korban bebas. Gimana nih orang hukum bantu, agar diksinya tidak menimbulkan polemik atau multiinterpretasi," kata dia.

Tak hanya itu, Hetifah juga mendorong segera dilakukannya revisi dan sosialisasi yang meluas agar dalam pelaksanaannya, salah satu instansi pendidikan, yakni perguruan tinggi dapat melaksanakan aturan seperti yang telah direncanakan.

"Perlu upaya revisi dan sosialisasi yang meluas, mendalam, dan intens. Karena kalau tidak, jangan-jangan perguruan tinggi tidak melaksanakan apa yang direncanakan," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, terbitnya Permendikbudristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Pelarangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, memicu polemik. Ada pihak yang menolak karena Permendikbudristek tersebut dinilai melegalisasi perzinahan, namun tidak sedikit yang mendukung.

Salahsatu pihak yang mendukung terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM menilai Permendikbudristek Nomor 30 dapat menjadi dasar menindak pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Baca Juga: Tepis Isu Legalisasi Zina, Pemerintah Harus Sosialisasi Permendikbud 30 Secara Luas

"Komnas HAM mendukung pemberlakukan Permendikbudristek itu, demi mencegah kekerasan seksual terjadi serta menjadi dasar untuk mengambil tindakan hukum kepada pelakunya jika telah terjadi," kata Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin, di Jakarta, Kamis (11/11/2021).

Adapun Pasal 5 yang memicu pro kontra, yaitu perihal multitafsir diksi "tanpa persetujuan Korban". Hal tersebut yang notabene disisipkan untuk mengatur mengatur soal consent atau persetujuan. Justru banyak diartikan sebagai upaya melegalkan zina atau tindak asusila.

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU