> >

"Jika Tak Ada Kepentingan Bisnis Harusnya Tes PCR Lebih Murah, India di Bawah Rp100 Ribu"

Politik | 27 Oktober 2021, 10:29 WIB
Anang Hermansyah jalani Tes Swab PCR (Sumber: Instagram)

JAKARTA, KOMPAS TV – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani menilai harga PCR Rp300 ribu masih terlalu mahal. Bahkan, bila memang tak ada kepentingan bisnis di balik itu, seharusnya bisa lebih murah.

“Harga Rp300 ribu itu masih tinggi dan memberatkan. Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga di bawah Rp100 ribu, kenapa kita tidak bisa?” kata Netty dalam keterangan tertulis, Rabu (27/10/2021). 

Ia mendesak pemerintah untuk menjelaskan harga dasar PCR secara transparan.  

Baca Juga: Peniliti: Harga Tes PCR Bisa Ditekan Lagi jika Pajak Distribusi Disederhanakan

“Saya berharap, pandemi Covid-19 ini tidak menjadi ruang bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya demi kepentingan bisnis. Pemerintah harus punya sikap yang tegas bahwa seluruh kebijakan penanganan murni demi keselamatan rakyat,” katanya. 

Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, bila nantinya tes PCR diterapkan untuk seluruh moda transportasi, maka akan membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. 

“Kalau kebijakan ini diterapkan, maka tes Covid-19 lainnya, seperti, swab antigen tidak berlaku. Artinya semua penumpang transportasi non-udara yang notabene-nya dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat,” ujarnya. 

Selain itu, ia juga menyoroti ihwal mekanisme pelaksanaan PCR sebagai deteksi awal Covid-19.

 “PCR adalah metode screening. Seharusnya  dalam masa menunggu hasil tes PCR keluar, seorang harus karantina. Banyak kasus justru orang bebas berkeliaran dalam masa tunggu tersebut," kata Netty. 

Menurut dia, bila kebijakan itu tak diperbaiki, ada peluang yang bersangkutan terpapar virus. 

"Jadi saat tes keluar dengan hasil negatif, padahal dia telah terinfeksi atau positif Covid-19," katanya.

Baca Juga: Puan Sebut Harga Tes PCR Rp300 Ribu Masih Kemahalan

Ia mengingatkan pemerintah tentang keterbatasan kemampuan laboratorium dalam melakukan uji PCR dan kemungkinan pemalsuan surat PCR. 

"Jika pemerintah mewajibkan PCR, seharusnya perhatikan ketersediaan dan kesiapan laboratorium di lapangan. Jangan sampai masyarakat lagi yang dirugikan. Misalnya, hasilnya tidak bisa keluar 1X24 jam." 

"Belum lagi soal adanya pemalsuan surat PCR yang diperjualbelikan atau diakali karena situasi terdesak," kata dia.
 

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU