> >

Komnas Perempuan Sebut Kesaksian Ibu dan Tiga Anak di Luwu Timur Tidak Dipertimbangkan Polisi

Peristiwa | 18 Oktober 2021, 15:36 WIB
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Sumber: Project Multatuli/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0))

Baca Juga: Kasus di Luwu Timur Dinilai Cacat Penyidikan, Kompolnas: Momentum Bagus Evaluasi Peraturan Kapolri

Siti mengatakan tidak optimalnya pengumpulan bukti membuat kepolisian menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Penghentian tersebut akhirnya dipertanyakan oleh ibu korban dan kuasa hukumnya.

“Intinya kami (Ibu korban dan kuasa hukum)  memiliki informasi, kami memiliki rekam medik, ada laporan P2TP2A Sulsel, tapi tidak dijadikan bukti,” tuturnya.

Siti mengatakan hambatan utama bagi korban kekerasan seksual memang terkait dengan aturan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dia menyebut dalam KUHAP ada pengaturan bahwa keterangan saksi yang tidak disumpah, tidak bisa menjadi alat bukti. Sedangkan, persyaratan saksi untuk bisa disumpah adalah berusia di atas 15 tahun atau sudah kawin.

Baca Juga: Ada Isu Penting dari Penyidikan Kasus Dugaan Pemerkosaan di Luwu Timur, Ini Kata Psikologi Forensik

Nah, dalam kasus di Luwu Timur, tiga anak tersebut masih berusia di bawah 15 tahun. Mereka masing-masing pada saat kejadian berlangsung berusia, 7,5 dan 3 tahun. Karena itu, meski keterangan mereka berkesesuaian dan saling menguatkan soal peristiwa pencabulan, namun tidak dijadikan bukti.

“Keterangan saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai satu dengan yang lain,  tidak merupakan alat bukti. Namun kalau keterangan yang sesuai itu berkesesuaian dengan saksi yang disumpah, maka baru bisa menjadi tambahan. Sifatnya hanya tambahan,” ujar Siti.

Selain itu rekam medi pun tidak dijadikan dasar, karena sifatnya dianggap lebih rendah daripada visum. Polisi sendiri telah menyertakan hasil visum sebagai salahsatu dasar penghentian penyelidikan yang menyebut tidak adanya trauma pada tiga anak tersebut.

“Kasus Luwu Timur bukan kasus yang satu-satunyanya di mana korban kekerasan seksual mengalami hambatan dan kasusnya di SP3. Banyak menimpa anak-anak termasuk penyandang disabilitas psikosial ketika menjadi korban mereka terhambat akses mendapatkan keadilan karena tidak ada keterangan saksi,” ungkap Siti.

Karena itu menurutnya penyelidikan dalam kasus di Luwu Timur dan kasus kekerasan seksual terhadap anak harus mengacu ke Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu dia berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan.

Penulis : Vidi Batlolone Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU