> >

Bahas Urgensi Amendemen UUD 1945, Fadli Zon Tawarkan Referendum

Politik | 11 September 2021, 21:25 WIB
Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon. (Sumber: KOMPAS.com/Haryantipuspasari)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Amendemen UUD 1945 bukan sesuatu yang urgen dan mendesak. Hal itu disampaikan oleh tiga narasumber dalam Forum Diskusi Salemba “Menimbang Urgensi Amandemen UUD 1945 Edisi Kelima: Perlukah?”, Sabtu, 11 September 2021.

Ketiga narasumber yang menilai bahwa amendemen bukan hal yang urgen tersebut adalah Viva Yoga Mauladi selaku mantan anggota DPR RI, Fadli Zon selaku anggota DPR RI, dan Bivitri Susanti selaku pakar Hukum Tata Negara.

Viv Yoga berpendapat, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sesuatu yang diperbolehkan, karena UUD 1945 merupakan konstitusi negara yang bisa diubah. Sebab UUD 1945 bukan kitab suci seperti Al-Qur'an, Injil, dan sebagainya.

“Jadi artinya ini diperbolehkan untuk melakukan perubahan, tapi dengan syarat-syarat tertentu yang cukup menjadi pertimbangan moral politik ada perubahan itu,” ucapnya.

Menurutnya, saat ini wacana amendemen UUD 1945 menjadi perdebatan yang cukup dinamis di wacana publik.

Baca Juga: Tegas!! Demokrat Tolak Amandemen UUD 1945 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Jokowi

Dinamisnya pembahasan tentang rencana amendemen ini disebabkan oleh banyaknya wacana, kepentingan, dan aspirasi tentang amendemen di dalamnya, baik yang berprasangka baik maupun buruk.

Meski demikian, dirinya menilai bahwa amendemen UUD 1945 tidak tepat jika dilakukan pada saat pandemi seperti ini.

“Tidak tepat kalau pada tahun ini kita lakukan perubahan UUD, karena kondisi ekonomi dan sosial belum memungkinkan. Pemerintah sedang dalam masa pemulihan ekonomi nasional. Sebaiknya tidak usah dilakukan amendemen.”

Senada dengan Viva Yoga, Bivitri Susanti juga menyebut bahwa amandemen belum perlu untuk dilakukan.

Bivitri menjabarkan peluang pengajuan amendemen dan kemungkinan disetujuinya di tingkat MPR. Menurutnya, jika dihitung secara matematis, jumlah anggota MPR yang merupakan akumulasi dari DPR dan DPD sebanyak 575+136, yakni 711 orang.

Sementara, kebutuhan suara untuk pengajuan amendemen hanya 237 suara karena jumlahnya harus sepertiga total anggota MPR.

“Itu sangat mudah diraih oleh koalisi yang sekarang, 469. Kebutuhan suara untuk rapat 474, sehingga kurang sedikit saja,” tuturnya.

Tetapi, amandemen bukan cuma hitungan matematis, karena pasti berdinamika.

“Saya ingin kita semua sebenarnya waspada dengan kemungkinan amendemen, karena tidak pada tempatnya untuk melakukan amendemen pada saat ini,” lanjutnya.

Baca Juga: Wacana Amandemen UUD 1945 Mencuat Usai PAN Merapat ke Istana

Alasan penolakan amandemen dilakukan pada saat ini bukan hanya karena pandemi Covid-19. Bahkan, misalnya pandemi berakhir dalam waktu dekat pun, dia menilai amendemen belum perlu dilakukan.

“Argumen saya bukan hanya karena Covid-19, tapi prosesnya harus partisipatif dan materi muatannya, apakah bersesuaian dengan kebutuhan warga, bukan kebutuhan elite politik.”

Narasumber lain, yakni Fadli Zon, juga menyebut bahwa amandemen belum perlu dilakukan meski amandemen boleh untuk dilakukan.

Fadli berpendapat, wacana amandemen harus diletakkan dalam satu konteks politik saat ini. Jika tidak ada konteks politik, menurutnya amandemen adalah sesuatu yang biasa saja, bisa dilakukan karena zaman berubah.

Tapi, jika kita meletakkan dalam konteks politik hari ini, terlalu banyak kepentingan yang berbeda. “Formalnya itu soal PPHN (pokok-pokok haluan negara) soal perlunya pengganti PPHN.”

Fadli menambahkan, jika melihat dalam konteks politik ini,  apalagi wacana yang berkembang tidak hanya persoalan PPHN tetapi juga persoalan ada wacana tentang penambahan masa jabatan presiden atau presiden bisa melebihi dua periode, hal ini tentu menjadi tanda tanya besar.

“Ya, tentu saja ini sangat menjadi pertanyaan besar. Jawaban saya sebenarnya tidak ada urgensinya untuk melaksanakan amandemen,” lanjutnya.

Fadli juga menyebut saat ini ini ada semacam diskoneksi antara wakil rakyat dengan kepentingan yang sudah tidak lagi menjadi kepentingan rakyat, misalnya direduksi jadi kepentingan partai politik.

“Kalau mau melakukan amendemen sekarang, ya referendum saja. Rederendum merupakan salah satu cara mengembalikan suara rakyat.”

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU