> >

Pemberian Remisi Koruptor Dinilai Sah-Sah Saja untuk Keadilan Hukum

Hukum | 21 Agustus 2021, 17:32 WIB
Ilustrasi koruptor. (Sumber: Kompas.com/SUPRIYANTO)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sebanyak 134.430 narapidana dan anak mendapat remisi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Hal ini bertepatan dengan momen perayaan HUT RI yang ke-76 tahun. Bahkan sebanyak 2.491 orang di antaranya langsung bebas murni.

Dari jumlah itu, ada 4 narapidana korupsi yang mendapat remisi umum II dan dinyatakan bebas. Sedangkan 210 narapidana korupsi lainnya mendapat jatah remisi umum I atau pengurangan masa tahanan. Total 214 narapidana korupsi yang menerima remisi.

Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan, sah-sah saja apabila Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengeluarkan remisi terhadap para koruptor.

Sebab, pendekatan secara normatif, remisi bagi narapidana tersebut pasti telah dikaji dengan berbagai hal dan regulasi yang ada.

"Remisi bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dikeluarkan Kemenkumham berbasis pada undang-undang (UU). Ini kan sudah diatur dalam peraturan, jadi sah-sah saja," ujar Emrus Sihombing, Sabtu (21/8/2021).

Baca juga: Remisi 2 Bulan untuk Djoko Tjandra Dinilai Cerminan Sikap Pemerintah Terhadap Pemberantasan Korupsi

Kendati demikian, menurut dia, apabila remisi khususnya bagi narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) dikaji dari perspektif kritis, maka para narapidana Tipikor tidak layak menerima remisi. Sebab perilaku koruptif tersebut merupakan penyakit sosial.

"Ini kenapa? Agar ada efek jera. Agar masyarakat lain agar tidak melakukan atau berpikir berkali-kali untuk melakukan Tipikor. Di semua lini sudah banyak perilaku koruptif. Ini penyakit sosial (Patologi sosial) jadi harus diberikan sanksi keras," ujar Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.

Dia melihat Kemenkumham melakukan pendekatan normatif atau obyektif berdasarkan UU pada remisi yang diberikan kepada para koruptor. 

Sebab, pemberian remisi bagi WBP tidak bisa merujuk pada dua pendekatan sekaligus. Karena pendekatan normatif dan pendekatan kritis saling berseberangan.

Penulis : Baitur Rohman Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU