> >

Sri Mulyani Sebut Bencana Iklim Mendatang akan Berdampak seperti Pandemi Covid-19

Berita utama | 27 Juli 2021, 23:04 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperingatkan soal dampak bencana akibat krisis iklim. (Sumber: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perubahan iklim dapat menjadi bencana tingkat global yang setara dengan pandemi Covid-19 di masa mendatang.

“Perubahan iklim adalah bencana global yang besar dampaknya diperkirakan akan sama dengan pandemi,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta pada Selasa (27/7/2021).

Menurut Sri Mulyani, perubahan iklim adalah ancaman nyata yang terus diteliti ilmuwan dunia.

Perubahan iklim ini memicu suhu dunia memanas karena banyak negara berlomba melakukan pembangunan. Sri Mulyani menyebut, pembangunan pada akhirnya mengancam alam.

Baca Juga: Banjir dan Longsor di Maharashtra India Sudah Tewaskan 113 Orang

Pembangunan akan mendorong mobilitas masyarakat dan penggunaan energi, utamanya dari bahan bakar fosil, seperti batu bara. 

“Seluruh kegiatan manusia juga semakin menghasilkan CO2 emission atau emisi karbon yang mengancam dunia dalam bentuk kenaikan suhu,” jelasnya.

Ia menyebut, kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celcius saja dapat memicu bencana yang berdampak pada seluruh makhluk hidup.

Sebab itu, kata Sri Mulyani, tidak ada negara yang bisa bebas dari ancaman perubahan iklim sebagaimana terjadi saat pandemi.

Meski begitu, Sri Mulyani menyoroti bahwa negara-negara miskin akan menerima dampak lebih berat karena tak memiliki sistem, anggaran, dan kemampuan menghadapi bencana.

Hal ini tercermin saat pandemi di mana banyak negara miskin tak memiliki sistem kesehatan memadai dan tak mampu mendapatkan persediaan vaksin Covid-19 yang cukup.

Baca Juga: Terkait Banjir, Ini 5 Perusahaan Tambang Terbesar di Kalsel

Oleh sebab itu, Sri Mulyani menegaskan perlu komitmen semua pihak untuk menghadapi perubahan iklim.

“Tidak hanya bergantung pada satu aktor apakah pemerintah, satu negara meskipun dia powerfull sekalipun tidak akan bisa. Satu perusahaan tidak akan bisa, satu sektor tidak akan bisa. Jadi ekosistem seluruh dunia harus berubah,” tegasnya.

Perubahan iklim saat ini terus menjadi sorotan di seluruh dunia. Beberapa tahun belakangan, perubahan iklim terlihat makin nyata saat terjadi gelombang udara panas di Siberia dan benua Amerika bagian utara.

Pada akhir Juni 2021 silam, gelombang panas menyebabkan suhu di Siberia, Kanada, dan Amerika Serikat mencapai 50 derajat celcius. Suhu panas itu bahkan sampai mencairkan lapisan es abadi (permafrost).

Perubahan iklim juga memperparah cuaca ekstrem hingga salah satunya menyebabkan banjir di Eropa, tepatnya di Jerman, Belgia dan Belanda sejak 13 Juli 2021.

Melansir Sciencemag, pakar banjir dan hidrologis Fred Hattermann menyebut beberapa sungai di Eropa terdampak perubahan iklim hingga menyebabkan banjir lebih mungkin terjadi.

Baca Juga: Berbeda tapi Saling Berkaitan, Apa Perbedaan Cuaca dan Iklim?

Sementara, Indonesia juga terancam kelangkaan air bersih. Kajian Bappenas menunjukkan, kelangkaan air akan makin meluas di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2030.

“Daerah-daerah yang mengalami defisit air meluas, sementara wilayah-wilayah basah di bagian barat dan tengah Jawa semakin berkurang,” ujar Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dilansir dari Lipi.go.id.

Heru mengatakan, faktor terbesar penyebab krisis air di Jawa adalah perubahan iklim. 

“Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” jelas Heru.

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV/Antara/Lipi/Sciencemag


TERBARU