> >

Penambang Abai Limbah, Peneliti LIPI: Kandungan Merkuri di Teluk Kayeli Maluku Lebihi Ambang Batas

Peristiwa | 25 Juni 2021, 09:05 WIB
Corry Yanti Manullang, Peneliti dari P2LD-LIPI (Sumber: Kompastv/Ant)

AMBON, KOMPAS.TV - Konsentrasi total merkuri (THg) di Teluk Kayeli, Kabupaten Pulau Buru, Provinsi Maluku melebihi batas maksimum cemaran logam berat di laut.

Hal tersebut disampaikan Peneliti Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) berdasar pada penetapan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (National Oceanic and Atmospheric Administration - NOAA) Amerika Serikat.

"Konsentrasi THg dalam sedimen dari semua lokasi yang diukur, ditemukan telah melebihi yang ditunjukkan dalam nilai NOAA," kata peneliti dari P2LD-LIPI Corry Yanti Manullang dilansir dari Antara, Kamis (24/6/2021).

Menurut Corry, dari hasil penelitian sampel sedimen laut yang diambil dari sembilan lokasi di Teluk Kayeli pada 2017.

Pihaknya menemukan konsentrasi total merkuri di semua lokasi.

Adapun konsentrasinya berkisar antara 0,035 hingga 4,802 mg/kg-1 DW.

Baca Juga: Ide Keren Sulap Sepeda Elektrik Rusak Jadi Sepeda Bertenaga Surya, Lebih Ramah Lingkungan!

Padahal, ambang batas cemaran logam berat yang diperbolehkan oleh NOAA, yakni 0,15 mg/kg-1 DW. Artinya, cemaran konsentrasi merkuri di Teluk Kayeli telah melewati ambang batas yang ada.

Pihaknya menduga konsentrasi merkuri yang tinggi di Teluk Kayeli berasal dari limbah aktivitas penambangan emas di Gunung Botak pada akhir tahun 2011 dan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) di Gogorea.

Dugaan tersebut karena limbah hasil PESK di Gunung Botak dan Gogorea biasanya dibuang begitu saja.

Sehingga, mengalir ke Sungai Anahoni, Waeapo, Kayeli dan Gogorea, kemudian bermuara dan mengendap di Teluk Kayeli.

Perlu diketahui, penggunaan merkuri (Hg) dalam penambangan emas digunakan untuk mengekstraksi emas menggunakan trommel atau mesin penyaring mekanis yang digunakan untuk memisahkan bahan.

Baca Juga: Edukasi Pentingnya Pengolahan Sampah Lingkungan di Rumah Kelola Sampah

Penggunaan merkuri merupakan prosedur umum dalam penambangan skala kecil, tapi seringkali penanganan limbah yang dihasilkan diabaikan oleh penambang.

Sementara itu, Teluk Kayeli merupakan kawasan penting sebagai daerah tangkapan ikan warga.

Ada banyak warga yang hidup dari laut, yakni sebanyak 50.000 orang.

Diketahui sebelumnya, penelitian juga pernah dilakukan pada Juli 2012 menemukan tingkat total merkuri di sekitar Teluk Kayeli berkisar antara 0,548-3,564 mg/kg-1 DW.

Selain itu, pernah juga dilakukan pengambilan sampel lainnya pada pada tahun 2013.

Dari sampel tersebut dilaporkan bahwa merkuri telah meningkat lebih dari 20 kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya, yakni 7,8 mg/kg-1 DW.

Baca Juga: Hari Pelaut Sedunia 2021, Kemenhub Genjot Vaksinasi Covid-19 untuk Pelaut di Kawasan ASEAN

Selain merkuri, logam berat berbahaya lainnya juga ditemukan, seperti kadmium (Cd) dan timbal (Pb) melebihi batas yang diizinkan NOAA juga ditemukan di sungai-sungai yang berada di sekitar PESK Gunung Botak dan Gogorea.

Banyaknya kandungan merkuri, kadmiun, dan timbal di dalam laut menurut Corry termasuk dalam kategori pencemaran laut paling berbahaya.

Namun mirisnya, hanya sedikit data mengenai total merkuri di lokasi penambangan dipublikasikan. Terlebih setelah PESK di Gunung Botak dan Gogorea beroperasi.

"Merkuri, kadmium dan timbal yang terlepas ke laut tidak mudah larut dan cenderung terakumulasi di sedimen atau di dalam tubuh biota laut. Karena itu, logam berat tersebut termasuk dalam kategori pencemar yang paling berbahaya," pungkasnya.

Baca Juga: LIPI Identifikasi 44 Sampel Covid-19 Varian Delta Ditemukan di Karawang

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU