> >

Koalisi Masyarakat Sipil Sikapi Tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402

Peristiwa | 28 April 2021, 02:37 WIB
Kapal selam KRI Nanggala-402 buatan tahun 1952 saat latihan Pratugas Satgas Operasi Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Maphilindo 2017 di Laut Jawa, Jumat (20/1/2017). (Sumber: Antara via Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menyikapi tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402.

Menurut salah satu organ koalisi itu, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf mengatakan bahwa tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 merupakan peristiwa yang tragis dan memprihatinkan.

Baca Juga: TNI AL Bantah KRI Nanggala 402 Kelebihan Kapasitas

"Kita patut sedih dan berduka atas peristiwa itu. Para prajurit TNI gugur di tengah proses latihan yang sedang dilakukan," kata Al Araf, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/4/2021).

Namun demikian, di tengah keprihatinan dan rasa duka, tentu peristiwa itu perlu dilihat dan dinilai dalam gambaran yang lebih besar tentang masalah modernisasi alutsista yang terjadi di Indoenesia.

Sejatinya, lanjut Al Araf, peristiwa kecelakaan alutsista di Indonesia bukanlah yang pertama kali terjadi. 

Sudah beberapa kali peristiwa kecelakaan terjadi, mulai dari jatuhnya pesawat tempur F-16 dan Hawk, pesawat angkut Hercules, helikopter MI-17, tenggelamnya kapal angkut TNI, hingga kemarin kita menyaksikan tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402. 

Berbagai faktor tentu bisa menjadi penyebab terjadinya kecelakaan mulai dari faktor human error, permasalahan mesin, faktor alam dan factor lainnya.

Baca Juga: TNI AL: Jangan Ada Simpang Siur Informasi KRI Nanggala 402

Namun begitu, satu hal penting yang selalu luput diperhatikan dari setiap kecelakan alutsista adalah soal tata kelola perawatan dan pemeliharaan alutsista Indonesia. 

"Padahal sangat mungkin masalah carut marutnya tata kelola alutsista di Indonesia dapat memperbesar risiko terjadinya berbagai kecelakaan. Gelapnya tata kelola pengadaan, perawatan dan reparasi alutsista Indonesia pada akhirnya juga akan menjadikan prajurit TNI rentan menjadi korban, bahkan hingga meninggal dunia," tutur Al Araf.

Ia menilai bahwa pengadaan alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan. 

Meski demikian, upaya tersebut harus dijalankan secara transparan dan akuntabel. 

Dalam praktiknya, beberapa kasus pengadaan alutsista selama ini bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya korupsi.

Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli berada di bawah standar dan kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan. 

Pembelian alutsista bekas juga menjadi persoalan karena memiliki potensi bermasalah yang lebih besar, tidak hanya akan membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga akan berisiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit. 

Al Araf menilai, penggunaan alutsista bekas dan alutsista tua telah menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya beberapa kecelakaan. 

Kondisi alutsista yang berada di bawah standar kesiapan akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. 

Sementara itu, proses perawatan/retrovit yang dilakukan menjadi permasalahan tersendiri dalam kesiapan alutsista. 

Semisal, dalam kasus kapal selam KRI Nanggala 402, proses retrovit (overhaul) yang dilakukan di Korea Selatan tentu patut dipertanyakan. 

Mengapa pilihan overhaul itu dilakukan di Korea Selatan dan bukan di Jerman?  

Baca Juga: Ridwan Kamil Beri Bantuan kepada Keluarga Prajurit KRI Nanggala-402

Padahal, kapal selam ini diproduksi oleh pabrikan Howaldtswerke-Deutsche Werft di Jerman bukan oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, Korea Selatan. 

"Kami mendesak agar pemerintah dan DPR mengevaluasi dan mengaudit semua proses kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan mulai dari kapal selam, kapal perang, pesawat tempur KFX/ IFX (KF-21Boramae) dan lainnya," katanya.

Penulis : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU