> >

Hari Musik Nasional, Ini Kisah Lagu-Lagu Terlarang dari Indonesia Raya sampai Lagu The Beatles

Sosial | 9 Maret 2021, 17:17 WIB
Foto personel kugiran The Beatles. Musik mereka sempat dilarang oleh Presiden Soekarno. (Sumber: PA via Kompascom)

SOLO, KOMPAS.TV - Indonesia memperingati Hari Musik Nasional setiap 9 Maret. Peringatan ini sebagai bentuk apresiasi pada musik.

Peringatan ini berawal dari keputusan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013, SBY menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional.

Kepres itu menjelaskan, peringatan Hari Musik Nasional untuk meningkatkan apresiasi masyarakat pada musik. Hal ini juga untuk meningkatkan rasa percaya diri dan prestasi insan musik Indonesia.

Baca Juga: Cerita 9 Maret Jadi Hari Musik Nasional dan Kelahiran WR Supratman

Di luar usaha apresiasi pemerintah baru-baru ini, masyarakat di wilayah nusantara sebenarnya pernah mengalami kesulitan hanya untuk sekedar mendengar lagu. Rezim dari tiap masa sering takut oleh keberadaan lagu dan musik.

Mereka melarang musik dan lagu dengan berbagai alasan. Berikut kisah-kisah pelarangan musik dan lagu di Indonesia.

1. Indonesia Raya

WR Soepratman rela merantau ke Pulau Jawa dari Makassar demi ambisi menciptakan lagu kebangsaan. Ia merantau agar dapat ikut memahami semangat pergerakan kemerdekaan.

Soepratman pun menjadi wartawan. Saat bergabung dalam surat kabar Sin Po, ia ikut menghadiri Kongres Pemuda Indonesia pertama. Pidato M Tabrani dan Sumarto memunculkan inspirasi lagu kebangsaan dalam dirinya.

“Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diucapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Terutama Pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu saya akan buat. Namanya Indonesia Raya,” begitu Soepratman mengaku.

Lagu “Indonesia Raya” akhirnya selesai digubah. Soepratman memperdengarkan lagu itu saat Kongres Pemuda Indonesia kedua.

(Sumber: Tribunnews)

Awalnya, pemerintah kolonial Belanda mencemooh lagu itu.

“Saya tidak melihat ada sesuatu yang istimewa dengan pada lagu tersebut. Lagu itu, dengan melodi Eropa yang biasa-biasa saja dengan syair yang tidak terlalu bagus pula, sekadar wujud  dari selera buruk terhadap musik, namun secara politik lagu tersebut sama sekali tidak berbahaya,” tulis pejabat pemerintah kolonial Belanda van der Plas dalam laporan pada Gubernur Jenderal De Graeff.

Mengutip situs Kemdikbud.go.id, para pemuda mulai senang memelesetkan isi lagu itu. Lirik “Indonesia Raya.. Mulia… Mulia…” mereka ubah menjadi “Indonesia Raya.. Merdeka… Merdeka…”

Karena mulai menyadari bahaya lagu ini, pemerintah kolonial Belanda menyatakan lagu Indonesia Raya mengganggu ketertiban dan ketentraman umum pada 1930. Pemerintah pun sempat menangkap dan menginterogasi WR Soepratman.

WR Soepratman meninggal dalam keadaan sepi pada 1938. Namun, lagunya tetap meresahkan pemerintah.

Baca Juga: Peringati Hari Musik Nasional, Resso Rilis 18 Playlist Lagu Indonesia

Kali ini, giliran pemerintah kolonial Jepang yang resah dengan lagu “Indonesia Raya”. Awal masa kependudukan Jepang, pemerintah memperbolehkan pemutaran lagu itu.

Namun, Jepang kemudian juga melarang pemutaran lagu kebangsaan Indonesia. Akhirnya, pada 1944 Jepang yang hampir kalah perang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan.

Panitia ini mengubah beberapa kata dalam lirik lagu “Indonesia Raya”.

2. Musik Ngak Ngik Ngok

Pada dekade 1950, muda-mudi Indonesia menggemari ‘musik Barat’. Namun, presiden saat itu Soekarno merasa resah dengan lagu-lagu semacam itu.

Menurut proklamator Indonesia itu, musik-musik ini adalah bentuk penjajahan budaya atau imperialisme kebudayaan.

Lagu Beatles terlarang. (Sumber: -)

“Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi. Engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan penentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’ n-rock’ n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok gila-gilaan dan lain sebagainya lagi?” kata Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1959.

Pemerintah pun melarang pemutaran lagu-lagu barat, termasuk The Beatles dan Elvis Presley. Band Koes Bersaudara yang kerap menyanyikan ulang lagu-lagu milik musisi-musisi itu pun kena getahnya. Mereka sempat dipenjara tanpa proses pengadilan pada 29 Juni 1965.

Baca Juga: Bob Marley, Musik Reggae untuk Kebebasan dan Kemanusiaan

3. Musik Cengeng

Kepemimpinan Indonesia direbut Soeharto. Namun, bukan berarti masyarakat bisa bebas mendengar dan mencipta musik.

Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menganggap lagu “Genjer-Genjer” sebagai lagu Partai Komunis Indonesia (PKI). Orba juga menduga anggota Gerwani, sayap organisasi PKI menyanyikan lagu ini saat menyiksa para jenderal.

Larangan lagu cengeng. (Sumber: -)

Padahal, lagu ini bercerita tentang penderitaan rakyat yang kekurangan bahan pangan hingga tanaman liar genjer-genjer menjadi makanan pokok .

Tak cuma itu, pemerintah Orba juga resah dengan keberadaan lagu-lagu ‘cengeng’. Hal ini dikeluhkan terutama oleh Menteri Penerangan Harmoko. Menurutnya, lagu-lagu semacam itu mengambat pembangunan nasional.

Harmoko sampai mengharamkan lagu cengeng semacam “Hati yang Luka”.

“Stop lagu-lagu (cengeng) semacam itu,” kata Harmoko dalam perayaan ulang tahun TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988.

Penulis : Ahmad-Zuhad

Sumber : Kompas TV


TERBARU