> >

SBY-Moeldoko, Dua Jenderal Satu Gelanggang

Politik | 9 Maret 2021, 06:00 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melantik Jenderal Moeldoko sebagai panglima TNI, Jumat, 30 Agustus 2013. (Sumber: Moeldoko.com)

JAKARTA, KOMPAS. TV- Jumat 30 Agustus 2013 adalah hari yang tak akan dilupakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  dan Moeldoko. Pada tanggal tersebut, Kepala Staf Presiden (KSP) itu meniti puncak karir tertinggi di dunia militer, sebagai Panglima TNI setelah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan TNI  Darat selama tiga bulan. 

Adalah Presiden  SBY yang melantik Moeldoko di Istana Negara disaksikan oleh Ketua DPR Marzuki Alie,  Ketua badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo, Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Melani Leimena Suharli. Hadir pula sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.


Ketika diambil sumpah oleh Presiden SBY, Moeldoko mengikuti kalimat yang diucapkan SBY:  

"Tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapa pun juga yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya," ucap Moeldoko.

Baca Juga: Pengamat Sebut Posisi Moeldoko Strategis, Rebut Demokrat Lalu Jadi Koalisi

Peristiwa tersebut kini seolah tak berbekas. Keduanya berada dalam posisi berhadapa-hadapan setelah Moeldoko diangkat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara melalui Kongres Luar Biasa (KLB).

SBY yang memegang jabatan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, mengenang peristiwa pengangkatan Moeldoko jadi Panglima TNI itu dengan nada penuh penyesalan bahkan permohonan ampun kepada Tuhan.

"Rasa malu dan rasa bersalah saya yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya mohon ampun kehadirat Allah SWT Tuhan yang maha kuasa atas kesalahan saya itu," katanya, Jumat (5/3/2021).  

Selain itu,  SBY mengajak seluruh kader untuk berjuang mempertahankan kemandirian partai, yang diibaratkan seperti peperangan.

"Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan dan kemandirian partai adalah perjuangan yang suci dan mulia. Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. Sebuah perang war of mases setting sebuah just war, perang untuk mendapatkan keadilan. Semoga Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa menuntun langkah kita, serta memberikan pertolongan kepada kita semua," tegasnya.

Baca Juga: Polemik Dualisme Partai Demokrat, Ketum Jokowi Mania Sebut SBY 'Playing Victim'

Sementara Moeldoko seolah menghilang setelah pengangkatan dirinya sebagai Ketua Umum. Namun, dalam pidato pengukuhannya dia menyiratkan tidak akan mundur dari gelanggang yang sudah disiapkan baginya.  "Saya mengapresiasi atas permintaan kalian, kalian telah meminta saya menjadi Ketua Umum Demokrat, itu saya apresiasi, dan itu saya terima," kata Moeldoko tegas.

Sebelum KLB, Moeldoko juga pernah mengingatkan kepada para kader Demokrat agar jangan menekan dirinya. Bahkan dua kali dia mengatakan, "Saya ingin mengingatkan."  Dia menyebut berani melakukan tindakan yang "saya yakini". Tak disebutkan apa yang dimaksud yang dia yakini itu. Namun, peristiwa KLB sudah membuktikan makna dari ucapannya itu.

Kini, dua jenderal yang sama-sama sudah purna tugas itu,  sedang bertempur dalam gelanggang yang sama, yaitu Partai Demokrat. 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU