> >

Pakar Hukum: Tak Perlu Berpolemik, SKB Pelarangan FPI Sesuai dengan UU

Politik | 4 Januari 2021, 18:16 WIB
Menko Polhukam Mahfud MD berikan keterangan pers pemerintah melarang dan menghentikan kegiatan ormas Front Pembela Islam (FPI), Rabu (30/12/2020). (Sumber: Tangkapan Layar Streaming Youtube KompasTV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menilai larangan pemerintah terhadap ormas Front Pembela Islam (FPI) merupakan hal yang wajar.

Pelarangan yang diteken enam menteri tersebut, sebagai tindakan pencegahan terhadap organisasi masyarakat yang bertentangan dengan hukum.

"Eksistensi SKB itu sebenarnya tidak perlu dijadikan polemik," ujar Indriyanto dalam pernyataannya kepada Jurnalis Kompas TV Frisca Clarissa, Senin (4/1/2021).

Baca Juga: FPI Duga SKB Sebagai Siasat Mempersempit Pengungkapan Kasus Kematian 6 Laskar

SKB enam menteri itu merupakan mandat implementatif dari regulasi sistem perundang-undangan Indonesia.

"Baik Undang-Undang Ormas Nomor 16 Tahun 2017, maupun konstitusi kita sendiri," jelas Indriyanto.

Jadi, lanjutnya, sepanjang substansi dari visi misi aktivitas kegiatan organisasi masyarakat (ormas) itu bertentangan dengan hukum, sudah sangat wajar bagi negara untuk mengeluarkan tindakan yang dinamakan tindakan pencegahan (precaution measures).

"Jadi berupa penolakan maupun pelarangan kegiatan-kegiatan aktivitas bahkan visi misi dari setiap ormas termasuk FPI yang bertentangan dengan hukum itu saja," tuturnya.

Reaksi Pelarangan FPI

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon bereaksi dengan SKB pelarangan ormas FPI yang ditandatangani oleh enam menteri. Menurutnya, pelarangan itu adalah praktik otoritarian.

"Sebuah pelarangan organisasi tanpa proses pengadilan adalah praktik otoritarianisme. Ini pembunuhan thd demokrasi n telah menyelewengkan konstitusi," ujar Fadli Zon melalui akun Twitter @fadlizon, dilihat Rabu (30/12/2020).

Baca Juga: BEM UI Sikapi Pembubaran FPI Tanpa Peradilan, Sorot SKB 6 Menteri dan Maklumat Kapolri

Sementara politikus PKS Mardani Ali Sera mengatakan, Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis. Masyarakat memiliki hak untuk berserikat.

Oleh karena itu, baik pemerintah atau FPI bisa menyelesaikan permasalahan ini di ranah hukum.

"Negara harusnya membina, bukan membinasakan," kata Mardani dalam pernyataannya kepada Jurnalis Kompas TV Ni Putu Trisnanda, Kamis (31/12/2020).

Mardani mengibaratkan pemerintah sebagai orang tua yang membimbing dengan kasih sayang kepada anaknya, dalam hal ini FPI.

Kalau pemerintah bertindak dengan cara membubarkan organisasi-organisasi masyarakat, Mardani khawatir akan menjadi preseden buruk.

Koalisi Masyarakat Sipil juga mempertanyakan dasar hukum pembubaran FPI.

Koalisi ini terdiri dari Kontras, Institute Perempuan, LBH Masyarakat, LBH Pers, PBHI, PSHK, SAFENET, YLBHI, YPII.

Baca Juga: Mantan Ketua MK: Beda dengan PKI, Menyebarkan Konten FPI Tidak Bisa Dipidana

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum.

Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum.

"Penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat," demikian bunyi rilis Koalisi Masyarakat Sipil, Rabu (30/12/2020).

Pelarangan FPI salah satunya didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017, yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, Undang-Undang Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Namun ada permasalahan dalam SKB tersebut. Yaitu pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat.

Baca Juga: Politikus PDIP TB Hasanuddin: Kalau FPI Ingin Berkuasa Dirikan Saja Partai Politik

Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan dalam No. 82/PUU-XI/2013 bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan:
“Berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum."

"Oleh karena itu FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum," tambah Koalisi Masyarakat Sipil.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU