> >

Suatu Sore di Pendopo Tjokronegoro

Opini | 3 Maret 2020, 15:49 WIB
Rumah Joglo (Sumber: Istimewa)

Dengan kata lain, konsep bonum commune, yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM) tentang keadilan.

Negarawan dan ahli hukum Romawi itu pernah mengatakan, salus populi suprema lex, kesejahteraan (kepentingan) rakyat merupakan hukum tertinggi.

Dengan demikian jelas, bahwa hukum adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat; bukan kesejahteraan segelintir, sejumlah kecil orang yang berkuasa atau yang bermodal. Itu berarti, ada keberpihakan kepada mereka yang miskin; miskin secara material serta miskin secara keadilan.

Hal semacam itu pula semestinya tujuan akhir dari Omnibus Law. Istilah hukum tersebut belakangan ini sedang marak dibicarakan.

Pemerintah Indonesia sedang menyusun Omnibus Law yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Dan, tujuan akhirnya, haruslah salus populi suprema lex.

Dengan demikian, politik bukan semata-mata soal kekuasaan, sebagaimana disampaikan oleh Hans Morgenthau (1904-1980)—ilmuwan politik dan sejarawan AS kelahiran Jerman dalam Politics Among Nations, The Struggle for Power and Peace.

Morgenthau menyebut tiga motif tindakan politik, yakni, mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, dan memperlihatkan kekuasaan. Demi ketiga hal tersebut, dilakukan segala cara, daya, dan usaha, bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara, mengutip istilah yang dipopulerkan Machiavelli.

Belakangan ini, hal tersebut semakin banyak dilakukan orang, para tokoh. Tujuannya, untuk menambah kekuasaan atau mempersiapkan diri merebut kekuasaan yang lebih tinggi, lebih besar.

Misalnya, dengan melakukan tindakan aneh-aneh, bahkan tidak rasional, tidak peduli orang lain, kontroversial (baik tindakan maupun omongan), beda jauh antara omongan dan tindakan, yang penting populer, yang penting diingat orang entah dimaki atau dipuji.  Tindakan semacam itu, dianggap sebagai suatu kewajaran, anehnya.

Tentu hal semacam itu, tidak seperti yang dirumuskan oleh  Manlius Severinus Boëthius (480-525), filsof dan negarawan, tentang siapakah manusia itu. Ia mengatakan homo est animal rationale, manusia adalah makhluk (binatang) yang berakal budi.

Inilah yang membedakan manusia dan binatang. Binatang hidup dan bertindak menurut naluri dan insting belaka. Mereka tidak menggunakan akal budi; pikiran dan hati.

Sementara manusia, hidup dan berbuat, semestinya, menurut akal budi; pikiran dan hati nurani. Sebab, manusia bisa berpikir. Semua tindakannya, termasuk juga yang diomongkan—semestinya—dipikirkan terlebih dahulu, ditimbang-timbang dampaknya, akibatnya, baik-buruknya, bukan asal bicara, asal buka mulut, bukan asal bertindak.

Karena itu, manusia yang berakal budi berani mempertanggung-jawabkan terhadap semua pilihannya. Itulah yang membedakan manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya.

Jelaslah di sini bahwa “hanya manusia yang ikut ambil bagian dari nalar dan pikiran”, bagitu kata  Cicero. Sebab, makhluk lain, tidak “bernalar dan berpikiran.”

Hanya saja, yang “kurang atau bahkan tidak bernalar dan tidak mencerminkan akal budi,” banyak diomongkan dan dilakukan orang, bukan sekadar orang kebanyakan tetapi orang-orang terhormat. Padahal, dalam filosofi hidup, ajining diri soko lathi, harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya.    

Jadi, janganlah heran kalau karena omongannya “tidak bernalar, tidak didasarkan pada akal budi”, ditertawakan banyak orang; bahkan dianggap tidak pantas menjadi pejabat.

Karena, seperti dikatakan Cicero di atas, “hanya manusia yang ikut ambil bagian dari nalar dan pikiran.” Dengan kata lain, manusia menduduki tempat khusus dalam ciptaan, dengan catatan, “bernalar dan berakal budi.”

Penulis : Alexander-Wibisono

Sumber : Kompas TV


TERBARU