> >

Suatu Sore di Pendopo Tjokronegoro

Opini | 3 Maret 2020, 15:49 WIB
Rumah Joglo (Sumber: Istimewa)

Trias Kuncahyono

Kami bertiga duduk di sebuah pendopo. Oleh yang kagungan, yang empunya, pendopo di  sudut kota Yogyakarta itu diberi nama Pendopo Tjokronegoro. Sejarah pendopo itu menarik; sekurang-kurangnya diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Bila menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka selalu teringat cerita zaman perjuangan, sejarah republik ini. Ia salah satu raja yang dengan tegas menyatakan bahwa daerahnya menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Keputusan ini, menurut yang tertulis dalam Takhta untuk Rakyat (Atmakusumah, ed; 2013), tidak hanya berpengaruh pada dirinya, tapi juga rakyat Yogyakarta dan bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staf kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati.

“Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik sudah ditunjukkan melalui dukungan finansial.

Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri.

Tetapi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Di pendopo itu, kami ngobrol. Namanya ngobrol, maka yang diobrolkan berbagai macam: ekonomi, politik, budaya, sosial, keadilan, dan soal-soal kecil yang tengah dibicarakan masyarakat banyak.

Obrolan kami makin menarik ketika masuk ke ranah politik. Kami mengutip arti politik seperti dikatakan oleh Otto von Bismarck (1815-1898)—perdana menteri Prussia (1862–73, 1873–90) dan pendiri serta kanselir pertama (1871–90) Kekaisaran Jerman. Bismarck, mengatakan politik adalah seni kemungkinan, dapat dicapai—seni yang terbaik berikutnya.

Bila dikatakan bahwa “politik adalah seni kemungkinan”, itu tidak berarti bahwa menolak terhadap prinsip moral dan etika, prinsip-prinsip nilai.

Etika yang sangat politis itu harus realistis dalam hal memperhitungkan prasyarat sosial dan struktural yang nyata dari kegiatan politik dan kemungkinan-kemungkinan untuk menerapkan arah politik tertentu.

Hal tersebut membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan pesuasi, bukan manipulasi, bukan pula kesombongan, dan bukan melalui kekerasan (Haryatmoko: 2003), ancaman, kebohongan, bahkan teror, apalagi teror menggunakan agama. Karena itu, hanya di tangan para politikus beretika saja, politik itu menjadi seni.

Tuntutan pertama dan utama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain.” Di sini, konsep politik, jelas yakni bonum commune, kesejahteraan bersama, umum.

Wujud paling nyata dan jelas dari konsep bonum commune adalah tidak boleh ada orang miskin, dimiskinkan, tertindas, tidak boleh ada orang yang dimarjinalkan, terpinggirkan karena berbagai sebab dan alasan.

Penulis : Alexander-Wibisono

Sumber : Kompas TV


TERBARU