KULIHAT IBU PERTIWI...
Opini | 12 Februari 2024, 16:00 WIBIZINKAN saya mengawali cerita dengan mengutip tulisan Santo Fransiskus (“Gita Sang Surya”, dalam Karya-karya Fransiskus dari Asisi, Yogyakarta, Kanisius, 2000) yang menjadi bagian alenia pertama Ensiklik Paus Fransiskus, Laodato Si, Terpujilah Engkau.
Demikian kata Fransiskus dari Asisi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan.”
Lalu, Paus Fransiskus melanjutkan, “Saudari ini sekarang menjerit……Ia mengeluh dalam rasa sakit bersalin….” (Roma 8:22).
Sampai di sini, saya ingat sebuah peristiwa di Kompas saat upacara peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, beberapa waktu lalu.
Waktu itu, Pak Jakob Oetama (salah seorang pendiri harian Kompas dan kini sudah almarhum) menjadi inspektur upacara. Setelah memberikan amanat lalu menyanyikan lagu Ibu Pertiwi.
Baca Juga: "Vox Populi" dan "Vox Diaboli"
Saya ingat, semua peserta upacara diam. Terharu. Terharu mendengar Pak Jakob menyanyi dengan suara bergetar, penuh penghayatan dan perasaan. Seakan semua yang berdiri ikut upacara di halaman gedung Kompas, ikut merasakan bahwa Ibu Pertiwi…sedang bersusah hati…air matanya berlinang…
Memang, terlihat mata Pak Jakob basah air mata, begitu mengakhiri lagu Ibu Pertiwi. Mungkin, saat itu ia merasakan bahwa Ibu Pertiwi… sedang lara…merintih dan berdoa.
***
Keadaan seperti itu oleh Paus Fransiskus, dirumuskan begitu indah: “Saudari ini sekarang menjerit.” Menjerit bukan hanya karena alamnya dirusak tapi juga karena polah tingkah “anak-anaknya” yang sudah tidak lagi memedulikan segala macam unggah-ungguh, tata krama, ajaran moral dan etika; yang sudah lupa sangkan paraning dumadi.
Padahal, ajaran ini mengingatkan seorang manusia tentang dari mana ia berasal dan ke mana dia akan kembali. Tujuan utama Sangkan Paraning Dumadi ialah agar seorang manusia dapat mengenali dirinya sendiri.
Sehingga, nantinya manusia tahu tentang dari mana asal hidupnya, bagaimana dia harus menjalani kehidupan di dunia ini, dan tujuan yang harus ia capai dengan kehidupannya.
Karena tidak ingat lagi ajaran para leluhur itulah, dahulu pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita menyebutnya sebagai zaman edan.
Baca Juga: Baliho Politik: Mengupas Bahaya dan Menggugat Estetika Komunikasi
Namanya saja zaman edan, maka di zaman seperti itu sudah tidak dapat dibedakan baik atau buruk, kawan atau lawan, jujur atau bohong. Orang yang dianggap pelindung tak mampu melindungi.
Maka rakyat sulit mencari tokoh teladan. Para pemimpin kehilangan sifat ambeg paramaarta, yakni sifat mendahulukan yang perlu didahulukan; mengutamakan yang penting diutamakan. Tapi, lebih mengutamakan kepentingan diri.
**
Kembali kepertanyaan awal: Mengapa Ibu Pertiwi selalu dibuat bersusah hati, menangis, dan berduka? Mengapa selalu berulang bahkan diulang? Karena kita tak pernah belajar dari sejarah?
Padahal kata filsuf Amerika-Spanyol George Santayana (1863-1952) orang yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.
Bukankah tidak perlu mengulang sejarah yang ditulis Adolf Hitler dengan Nazinya atau sejarah yang digoreskan Benito Mussolini dengan Partai Fasis Nasional-nya, misalnya. Kedua tokoh itu membuat sejarah tragedi manusia.
Kalau sejarah itu berulang, kata Karl Marx (1952), maka tragedi menjadi lelucon. Lelucon tentang tragedi atau tragedi yang menggelikan…
Baca Juga: Kupandang Visuvius dari Balkon
Dahulu di zaman Romawi ketika melihat tragedi kehidupan menguasai terutama para pemimpin dan juga masyarakat karena dekadensi perilaku dan adat-istiadat, negarawan besar di masanya, Cicero berpidato berteriak penuh kepedihan, kekecewaan, putus asa sekaligus marah:
O tempora, o mores…oh zaman, oh adat-istiadat, mengapa menjadi edan….
Dan, ia melihat Ibu Pertiwi menangis…
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV