> >

Ketemu Saudagar

Opini | 29 Mei 2023, 20:41 WIB
Melinting cerutu (Sumber: Trias Kuncahyono)

Oleh: Trias Kuncahyono

Selama lima hari, saya di Surabaya. Di kota Pahlawan itu–semoga gelar itu benar-benar sebagaimana artinya di tengah banyak orang sok pahlawan dan menjadi pahlawan kesiangan–saya jumpa lagi dengan sop kikil, rujak cingur, sate ranggi, sate madura, nasi campur, dan ada juga nasi goreng hitam. Semuanya enak.

Saya juga bertemu sejumlah saudagar yang begitu baik hati, ramah, bersahabat, bahkan nyemudulur. Sebut saja,  Alim Markus, Halim Rusli, Soedomo Mergonoto, Harry Sunogo, Welly Muliawan, Welly Gunawan, Michele M Sunogo, Ricky Ongkowiharjo, Febrian Kahar Miam, dan masih banyak lagi. Saya juga ketemu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Namanya ketemu saudagar maka topik pembicaraan tak jauh-jauh dari dunia usaha, perjuangan, dan jatuh bangun dalam berusaha. Mereka  pengusaha yang bersemangat dan berjiwa entrepreneurship, kewirausahaan–yang optimistis…terus berusaha mengembangkan usahanya, mencari peluang.

***

Salah satu cerita yang menarik dikisahkan Soedomo Mergonoto. Saudagar, seorang pengusaha kondang ini mengawali usahanya dengan jualan kopi keliling kampung, terutama di daerah Dolly, dengan sepeda.

Dulu, Dolly atau yang lebih dikenal sebagai Gang Dolly, Surabaya merupakan kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Resmi ditutup pada Juni 2014 oleh Bu Risma waktu menjabat sebagai wali kota.

Kata Soedomo, saat itu, ia baru berusia 15 tahunan dan sering digodain para “penghuni” Gang Dolly.  Sambil tertawa ngakak, Soedomo mengenang dan mengisahkan masa lalunya jualan kopi di Gang Dolly.

Jualan kopi dirintis ayahnya, Go Soe Loet, yang bersama saudaranya, Go Bie Tjong dan Goe Soe Bin, berimigrasi dari daratan Tiongkok ke Hindia Belanda (Indonesia, sekarang ini). Tahun 1927, mereka mulai jualan kopi keliling dengan sepeda onthel.

Mereka keliling kampung dan Pelabuhan Tanjung Perak. Pelanggan utama adalah para pelaut dan masyarakat sekitar pelabuhan. Di pelabuhan inilah, nama kopi jualan mereka lahir. Karena yang saban hari dilihat para pelanggan adalah kapal api, maka kopi jualan mereka diberi nama kopi kapal api.

Suatu hari, kata Soedomo, warna sachet kopi jualannya berbeda sedikit agak kehijau-hijauan, karena ada kesalahan di pabrik pembuatnya. Ternyata, kopi dengan sachet “baru”  ditolak pasar. Yang ditolak bukan hanya kopinya, tapi juga warna sachet-nya. Kata para pelanggan, rasa kopi dalam sachet “baru” itu terlalu pahit. Padahal, sebenarnya sama saja.

Sejak saat itu, Soedomo keukeuh, warna sachet kopinya tidak akan pernah diganti. Meskipun, ada yang bilang warna sachet-nya jelek. Ia percaya bahwa setiap warna memiliki kekuatan, makna, dan kesan tertentu bagi setiap orang.

Warna bukan hanya membangkitkan estetika atau menunjukkan kepribadian, tapi warna identik dengan keseharian dan kebiasaan maupun jati diri seseorang. Warna dapat memberikan tujuan, makna dan arti yang dapat menunjukkan kepribadian atau branding dari suatu perusahaan bahkan partai politik.

Maka itu, warna bukan hanya ada kaitannya dengan kehidupan sosial manusia. Bahkan, warna juga memiliki arti politik. Warna menjadi simbol politik. Dalam dunia politik, warna menjadi identitas partai:  merah, misalnya, beda dengan kuning, hijau, biru, ungu, putih, hitam, abu-abu, cokelat, oranye, dan merah muda.

Bahkan, kata Min Reuchamps (2014), dalam dunia politik, warna melambangkan ideologi. Warna merah, misalnya, di AS diasosiasikan ideologi konservatif Partai Republik. Sementara warna jingga melambangkan ideologi politik demokrat Kristen.

***

Soedomo juga Alim Markus, Halim Rusli, Harry Sunogo, Welly Muliawan, Welly Gunawan, Ricky Ongkowiharjo, dan Febrian Kahar Miam adalah saudagar, juragan. Mereka itu juragan betulan, bukan juragan atau saudagar politik apalagi makelar atau tengkulak politik.

Mereka tidak muncul musiman–Soedomo dan Alim Markus, misalnya, sudah berwira-usaha sejak usia remaja–seperti saudagar politik, makelar politik, dan tengkulak politik. Para saudagar politik, tengkulak politik, dan makelar politik muncul di saat musim politik tiba. Karena komoditas mereka adalah politik. Mereka memperjual-belikan politik.

Bagi mereka, yang bisa menjadi komoditas tidak hanya politik, tetapi juga agama, ras, suku, dan etnis. Maka jadilah agama, misalnya, menjadi komoditas politik. Dari segi kepentingan politik, agama adalah bahan bakar mesin politik yang efektif.

Kata Abdul Gaffar Karim (2018) dosen politik dari UGM, agama bisa menjadi komoditas politik karena sifat agama yang memiliki likuiditas tinggi. Agama adalah identitas manusia yang paling mudah dijual. Sensitivitas agama melebihi identitas suku, ras, dan kelas sosial.

Sekarang ini, sudah bermunculan para saudagar politik (termasuk juga makelar dan tengkulak politik) baik yang kecil, menengah, maupun besar. Mereka menggelar obral politik–entah itu politik identitas, politik agama, politik etnis, maupun politik sakit hati– di mana-mana.

Mereka itu beda, bahkan sangat berbeda dengan para saudagar di Surabaya yang saya temui: yang mereka jual adalah hasil produksi pabrik mereka. Ada kopi. Ada kerupuk udang. Ada sambal. Ada furniture. Ada emas batangan dan perhiasan emas. Ada perlengkapan rumah tangga: dari ember sampai setrika, dari kipas angin sampai kulkas.

Dari pertemuan itu, saya tahu bagaimana para saudagar itu menerjemahkan makna kata pahlawan yang menjadi julukan Kota Surabaya, tanpa bikin gaduh seperti para saudagar politik.

 

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU