> >

Ketemu Saudagar

Opini | 29 Mei 2023, 20:41 WIB
Melinting cerutu (Sumber: Trias Kuncahyono)

Sejak saat itu, Soedomo keukeuh, warna sachet kopinya tidak akan pernah diganti. Meskipun, ada yang bilang warna sachet-nya jelek. Ia percaya bahwa setiap warna memiliki kekuatan, makna, dan kesan tertentu bagi setiap orang.

Warna bukan hanya membangkitkan estetika atau menunjukkan kepribadian, tapi warna identik dengan keseharian dan kebiasaan maupun jati diri seseorang. Warna dapat memberikan tujuan, makna dan arti yang dapat menunjukkan kepribadian atau branding dari suatu perusahaan bahkan partai politik.

Maka itu, warna bukan hanya ada kaitannya dengan kehidupan sosial manusia. Bahkan, warna juga memiliki arti politik. Warna menjadi simbol politik. Dalam dunia politik, warna menjadi identitas partai:  merah, misalnya, beda dengan kuning, hijau, biru, ungu, putih, hitam, abu-abu, cokelat, oranye, dan merah muda.

Bahkan, kata Min Reuchamps (2014), dalam dunia politik, warna melambangkan ideologi. Warna merah, misalnya, di AS diasosiasikan ideologi konservatif Partai Republik. Sementara warna jingga melambangkan ideologi politik demokrat Kristen.

***

Soedomo juga Alim Markus, Halim Rusli, Harry Sunogo, Welly Muliawan, Welly Gunawan, Ricky Ongkowiharjo, dan Febrian Kahar Miam adalah saudagar, juragan. Mereka itu juragan betulan, bukan juragan atau saudagar politik apalagi makelar atau tengkulak politik.

Mereka tidak muncul musiman–Soedomo dan Alim Markus, misalnya, sudah berwira-usaha sejak usia remaja–seperti saudagar politik, makelar politik, dan tengkulak politik. Para saudagar politik, tengkulak politik, dan makelar politik muncul di saat musim politik tiba. Karena komoditas mereka adalah politik. Mereka memperjual-belikan politik.

Bagi mereka, yang bisa menjadi komoditas tidak hanya politik, tetapi juga agama, ras, suku, dan etnis. Maka jadilah agama, misalnya, menjadi komoditas politik. Dari segi kepentingan politik, agama adalah bahan bakar mesin politik yang efektif.

Kata Abdul Gaffar Karim (2018) dosen politik dari UGM, agama bisa menjadi komoditas politik karena sifat agama yang memiliki likuiditas tinggi. Agama adalah identitas manusia yang paling mudah dijual. Sensitivitas agama melebihi identitas suku, ras, dan kelas sosial.

Sekarang ini, sudah bermunculan para saudagar politik (termasuk juga makelar dan tengkulak politik) baik yang kecil, menengah, maupun besar. Mereka menggelar obral politik–entah itu politik identitas, politik agama, politik etnis, maupun politik sakit hati– di mana-mana.

Mereka itu beda, bahkan sangat berbeda dengan para saudagar di Surabaya yang saya temui: yang mereka jual adalah hasil produksi pabrik mereka. Ada kopi. Ada kerupuk udang. Ada sambal. Ada furniture. Ada emas batangan dan perhiasan emas. Ada perlengkapan rumah tangga: dari ember sampai setrika, dari kipas angin sampai kulkas.

Dari pertemuan itu, saya tahu bagaimana para saudagar itu menerjemahkan makna kata pahlawan yang menjadi julukan Kota Surabaya, tanpa bikin gaduh seperti para saudagar politik.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU