> >

Sahabatku, Muhammadiyah

Opini | 20 November 2022, 16:00 WIB
Logo Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah (Sumber: istimewa)

Trias Kuncahyono, Penulis adalah Wartawan Senior Harian Kompas

SAYA masih ingat, almarhum Budeku dulu aktif di organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah, yakni Aisyiyah. Yah, Aisyiyah di tingkat desa. Yang juga saya ingat, di depan rumah Bude ada board papan nama dari seng tak begitu besar warna hijau dan ada tulisannya Aisyiyah, di bawah logo Aisyiyah.

Sama halnya dengan Muhammadiyah, logo Aisyiyah berbentuk matahari yang memancarkan ke-12 sinarnya. Perbedaannya hanya pada tulisan Arab di lingkaran tengah yang bertuliskan Aisyiyah. Warna dasarnya hijau daun, sedangkan seluruh sinar dan tulisannya berwarna putih.

Aisyiyah berdiri dengan itikad mencerdaskan kehidupan perempuan. Bahwa perempuan juga memiliki hak untuk merasakan manisnya ilmu pengetahuan.

Bude rajin menghadiri acara-acara yang digelar Aisyiyah. Berkebaya putih dan berkerudung putih, begitulah “pakaian kebesaran” Bude. Bude sekeluarga, memang Muhammadiyah.

Sementara, adik-adik Bude, Katolik. Tapi, kami keluarga besar, rukun-rukun saja, nggak ada masalah sama sekali. Hari-hari besar keagamaan, kami sama merayakan penuh sukacita. Di saat lebaran, saya juga kebagian “rezeki” dari Bude. Bahkan, saat masih sekolah dasar, saya kerap mendapatkan uang jajan dari Bude.

Baca Juga: 4 Pernyataan Haedar Nashir usai Terpilih Jadi Ketua Umum PP Muhammadiyah 2022-2027

Perbedaan agama, dulu, memang nggak pernah menjadi masalah. Beda dengan sekarang ini. Kerap kali ada yang memainkan soal perbedaan agama untuk merobek-robek anyaman persaudaraan sesama anak bangsa. Bahkan ada yang dengan sengaja mempersoalkan perbedaan agama untuk kepentingan-kepentingan politik, kepentingan kekuasaan.

Padahal, kan dari sedari dulu, bangsa Indonesia itu majemuk. Maka benar yang dikatakan Bung Karno, beberapa puluh tahun silam, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Kehidupan di desa, di zaman saya kecil, juga ayem tentrem, tenang dan damai, antar-warga saling hormat menghormati, saling bertenggang rasa, dan toleran. Semangat gotong-royong masih kuat. Pendek kata, menyenangkan.

***

Ilustrasi Bhinneka Tunggal Ika (Sumber: Kompas.com)

Ingat Bude almarhum, ingat kehidupan masyarakat desa di zaman dulu, saya lalu ingat sahabat saya Sukidi, yang juga dari desa, dan yang Muhammadiyah. Bahkan disebut sebagai cendikiawan muda Muhammadiyah.

Sahabat saya ini, sangat suka dan semangat menulis tentang ke-Indonesiaan. Ia tak henti-hentinya mengingatkan bahwa Indonesia itu majemuk dalam segalanya. Maka kita memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.”

Indonesia majemuk, baik dari kelas-kelas sosial, partai politik, aliran, agama, suku, etnis, budaya dan sebagainya. Kata Yudi Latief penulis buku Negara Paripurna (2011), prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan.

Ini suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “bhinneka tunggal ika.”

Maka kata Yudi Latief, kita boleh beda warna kulit, beda ras,beda agama, dan banyak perbedaan lainnya, tapi kalau ingat darah sama merah dan tulang sama putih itulah yang diwujudkan dalam bendera Indonesia, bendera kemanusiaan Indonesia.

Baca Juga: Dua Kali jadi Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir: Sejengkal Didepankan dan Seiinci Ditinggikan

Republik ini meraih kemerdekaan dan mampu berdiri tegak di atas pilar kebhinekaan berkat persatuan. Persatuan menjadi spirit perjuangan kolektif para pendiri bangsa, bukan sekadar untuk melawan kolonialisme yang brutal, melainkan juga untuk membentuk negara Indonesia.

Yudi Latief mengibaratkan, Indonesia layaknya sebuah rumah besar yang diisi dengan berbagai warna-warni. Rumah besar ini jika di dalamnya saling berkelahi maka tidak akan bisa menghasilkan apa-apa dan bahkan bisa merusak rumah itu. Tetapi jika bersatu, kompak, gotong royong maka akan menghasilkan berbagai prestasi yang membangggakan.

Akan tetapi, mengupayakan persatuan masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, ditambah ada yang sengaja menghalang-halangi persatuan itu.

Maka, kata Yudi Latief, sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Dan itu, harus dilakukan sampai sekarang ini.

Dengan mengutip pendapat Ernest Renan (1823-1892) filsuf, sejarawan, dan cendikiawan agama asal Perancis, Bung Karno mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa. Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar.

Kebangsaan tidak tergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan, bisa memperkuat rasa kebangsaan. Lalu apa yang mengikat sebuah bangsa benar-benar bararti satu jiwa?

Kata Bung Karno, mengutip Ernest Renan, yang menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama, le desir d’etre ensemble. Kehendak hidup bersama itulah yang dahulu ditekati oleh para Bapak Bangsa, sejak Sumpah Pemuda (1928) dan dipuncaki dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

***

Foto ilustrasi (Sumber: istimewa)

Apa yang disampaikan Sukidi itu, memang sudah terlebih dahulu disampaikan baik lewat ucapan maupun tulisan, bahkan berkali-kali dikatakan dengan kesungguhan dan ketulusan hati, olek gurunya yang juga Guru Bangsa ini: Buya Syafii Maarif (alm).

Meskipun demikian, Indonesia majemuk itu perlu dan harus terus dan terus diingatkan. Sebab, ada saja yang berusaha mengaburkan, melupakan, tidak mengakui kemajemukan itu.

Padahal, hal tersebut benar-benar mengingkari kenyataan kemajemukan, pluralitas Indonesia. Tanpa kemajemukan–suku, agama, ras, etnik, budaya, bahasa, dan sebagainya–bukanlah Indonesia.

Buya Syafii (1935-2022), Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005, bagi saya adalah tokoh besar Muhammadiyah. Ia adalah mata-air keteladanan dalam banyak hal, baik kejujuran, kesederhanaan, sikap hidup, persaudaraan, penjunjung tinggi keragaman, pluralitas, tindakan nyata dan berbagai hal kebaikan lainnya.

Baca Juga: Momen Presiden Jokowi Buka Kegiatan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah

Sikap persaudaraan itu sungguh saya rasakan. Sikap persaudaraan seperti itu juga saya rasakan dari tokoh Muhammadiyah yang lain, Abdillah Toha. Ia selalu mengatakan apa adanya tentang seseorang, sekalipun terhadap orang yang didukungnya, tanpa “topeng” kepalsuan dengan aksi sekadar sensasi, seperti yang banyak dilakukan oleh mereka yang menokohkan diri, yang suka menebarkan pesona demi gengsi dan demi kuasa.

Di zaman kini, tidak mudah mencari tokoh seperti mereka. Tokoh yang berintegritas; yang melakukan suatu tindakan sesuai dengan yang diucapkannya. Dengan perkataan lain, integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Integritas di zaman ini menyiratkan keadaan moralitas yang lurus. Tokoh seperti ini, segala ucapan dan tindakannya pantas didengarkan serta ditiru.

Selamat bermuktamar ke-48, Muhammadiyah…

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU