> >

Hikayat Celeng

Opini | 16 Oktober 2021, 13:52 WIB
Berburu Celeng karya Djoko Pekik (Sumber: triaskun.id)

Baca Juga: Rabu Malam

Rakus atau tamak berarti ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan; loba; tamak; serakah (KBBI). Rakus atau tamak juga diartikan sebagai cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.

Di sini ada sikap yang selalu ingin memperoleh sesuatu yang banyak untuk diri sendiri. Orang tamak selalu mengharap pemberian orang lain, namun dia sendiri bersikap pelit atau bakhil. Ia ingin mengumpulkan harta untuk kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan aturan.

Yang muncul sekarang ini adalah “celeng purworejo”, “celeng perjuangan” yang oleh mantan walikota Solo FX Hadi Rudyatmo disebut “banteng celeng.” Kata Rudyatmo, “saya lebih senang jadi banteng celeng. Karena banteng celeng ini menurut saya yang tegak lurus” (Kompas.com, 14/10/2021)

Mengapa celeng yang satu ini muncul di Purworejo? Sebenarnya tidak muncul di Purworejo, tetapi dimunculkan di Purworejo. Adalah Ketua DPP PDI yang juga Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto, yang pertama menggunakan istilah celeng bagi para kader PDIP Purworejo yang secara terbuka mendukung Ganjar Pranowo maju ke Pilpres 2024. Mereka disebut telah keluar dari barisan kader (karena mendahului keputusan pusat) dan lebih layak disebut celeng dari pada benteng.

Dari sinilah muncul istilah Barisan Celeng Berjuang, di Purworejo. Namanya perjuangan, ya bisa berhasil dan juga bisa gagal. Itu risiko perjuangan, yang harus diketahui bahkan disadari oleh siapa saja yang menyebut dirinya pejuang. Ya, seperti pepatah saja homo proponit sed Deus disponit, manusia merencanakan tetapi Tuhanlah yang menentukan.

Dalam perjuangan ada ketidakpastian. Tetapi, para pejuang harus memastikan bagaimana yang tidak pasti itu bisa menjadi pasti? Dibutuhkan usaha, niat, tekad, dan perjuangan yang keras. Dalam bahasa orang beriman, perlu ada keselarasan dan relasi erat antara gratia operans (rahmat yang diberikan) dan gratia cooperans (rahmat yang diusahakan). Maka ada kata-kata bijak ora et labora, berdoalah dan bekerjalah.

Barisan Celeng Berjuang itu ada di Purworejo yang dari dulu, memang, kota perjuangan. Sejarah bercerita, Purworejo di zaman Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi basis pasukan Pangeran Diponegoro. Karena itu, Belanda lalu mendirikan tangsi militer dan benteng di kota yang dulu bernama Kedung Kebo, di tepi  Sungai Bogowonto.

Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen.

Purworejo juga terkenal dengan kambing Etawa-nya (sekarang ditambah celeng). Di sana juga ada kesenian Dolalak. Makanan khasnya adalah Clorot. Clorot terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah yang dikukus. Rasanya manis dan kenyal. Dibungkus daun kelapa muda, janur.

Yang tak kalah menarik, tahun lalu, di Purworejo muncul “kerajaan” baru yang bernama Kerajaan Agung Sejagat (KAS), berpusat di Bayan. Raja  KAS yang menyebut dirinya Totok Santoso Hadiningrat atau Sinuhun dan memiliki istri bernama Dyah Gitarja atau Kanjeng Ratu mengklaim bahwa kerajaannya sebagai penerus Kerajaan Majapahit (Kompas.com, 15/1/2020).

Itulah Purworejo.

III

Ilustrasi. (Sumber: Istimewa via triaskun.id)

Dari Purworejo muncul kisah-kisah menarik sekaligus ramai. Benar, yang dikatakan seorang sahabat. Lewat pesannya yang lumayan panjang. Sahabat itu menulis:

Bung, kita, di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat ramai tapi sepélé. Sepélé, Bung. Sepélé.  Ya memang … Tak ada hal-hal mendasar yang dipertarungkan. Yang dipersoalkan bukanlah hal-hal yang menggetarkan pikiran, apalagi hati. Dan, juga bukan perkara  yang menjadi hajat hidup orang banyak. Yang saya maksudkan dengan “orang banyak” adalah masyarakat, rakyat, bukan orang banyak itu kelompoknya sendiri.

Yang ada hanyalah kebisingan, hirup-pikuk, kegaduhan, Bung. Orang lagi enak-enak menikmati hidup karena level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diturunkan, tiba-tiba muncul celotehan dari tokoh politik, ya tokoh yang sekadar mencari perhatian, atau melunasi janji kepada para konstituennya.

Baca Juga: Boeng Besar

Masyarakat juga diganggu gonjang-ganjing yang terjadi dalam tubuh partai, misalnya urusan AD/ART.  Padahal, itu urusan mereka sendiri. Urusan rakyat sekarang adalah bagaimana lolos dari pandemi Covid-19, dan memulihkan kehidupannya yang compang-camping karena pandemi.

Ah, ya sudahlah Bung. Kita ikuti saja ke mana angin bertiup dan air mengalir.

Begitu, pesan sahabat lewat WA. Dan, pesan itu tidak pernah saya balas. Saya memilih mengikuti sarannya untuk mengikuti ke mana angin bertiup dan air mengalir, sambil mengikuti bagaimana akhir kisah celeng itu: setragis celeng-nya Djoko Pekik yang diusung dua lelaki kurus  atau sebahagia massa rakyat yang menonton celeng raksasa Djoko Pekik.  ***

Penulis : Gading-Persada

Sumber : triaskun.id


TERBARU