> >

Akar Masalah Jagung yang Jadi Momok Bagi Peternak Ayam Petelur

Ekonomi | 29 September 2021, 09:06 WIB
Petani menjemur jagung di Desa Toabo, Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (30/7/2021). (Sumber: Kompas.tv/Ant)

BLITAR, KOMPAS.TV – Persoalan harga jagung masih menyelimuti peternak dan industri perunggasan nasional. Ironinya, hal ini telah berlangsung sejak lima tahun terakhir.

Dengan kata lain, kisah Suroto, peternak ayam petelur asal Blitar, Jawa Timur, sejatinya bukan kasus baru dalam industri perunggasan nasional.

Peternak unggas mengeluhkan tingginya harga jagung telah terjadi berulang kali. Jagung yang merupakan bahan baku dominan dalam struktur produksi, apabila mengalami kenaikan harga yang signifikan akan sangat berdampak ke industri pakan dan peternakan, khususnya peternak bermodal cekak.

Merunut ke tahun 2015, akar persoalan terjadi pada ketidakakuratan data produksi. Pada 2016, pemerintah memutuskan untuk mengurangi impor jagung. Kemudian, tahun 2017 mulai menghentikan impor jagung karena yakin produksi jagung di dalam negeri cukup.

Sayangnya, situasi harga di lapangan justru berkebalikan. Bukannya turun, harga justru berulang kali naik meski produksinya diklaim surplus.

Data tak sinkron

Persoalan awal tahun ini bisa jadi contoh asimetri data. Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung dengan kadar air 15 persen mencapai 11,73 juta ton sepanjang Januari-Mei 2021.

Baca Juga: Buntut Harga Telur Anjlok dan Harga Jagung Tinggi, Peternak Gugat Mentan Rp36 Miliar

Dengan total kebutuhan untuk industri pakan, konsumsi langsung, dan benih  mencapai 9,44 juta ton, semestinya ada surplus jagung sebanyak 2,29 juta ton di lima bulan pertama tahun 2021.

Akan tetapi, peternak masih saja mengeluhkan tingginya harga jagung di lapangan tinggi serta melebihi harga acuan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp 4.500 per kg dengan kadar air 15 persen.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV/Kompas.id


TERBARU