> >

PBB: Lebih dari 40 Pekerja Kemanusiaan Tewas di Myanmar sejak Kudeta 2021

Kompas dunia | 6 Juli 2023, 21:22 WIB
Kepala HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk, Kamis (6/7/2023), mengatakan sebanyak 40 orang pekerja kemanusiaan telah tewas di Myanmar sejak kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih secara demokratis, Aung San Suu Kyi, pada tahun 2021. (Sumber: Tribune de Geneve)

JENEWA, KOMPAS.TV - Kepala HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk mengatakan, lebih dari 40 orang pekerja kemanusiaan telah tewas di Myanmar sejak kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih secara demokratis, Aung San Suu Kyi, pada tahun 2021.

Dalam laporan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Turk mengutuk "serangan langsung" terhadap para pekerja kemanusiaan, yang sebagian besar bekerja untuk organisasi lokal, terjadi di tengah pertempuran antara junta militer dan para penentangnya, seperti laporan Straits Times, Kamis (6/7/2023).

Turk mengatakan kematian tersebut merupakan bagian dari upaya "terencana dan ditargetkan" untuk menghalangi bantuan dan "penolakan yang terhitung secara kalkulatif terhadap hak-hak dan kebebasan mendasar bagi sebagian besar penduduk".

PBB memperingatkan penghalangan atau penolakan bantuan kemanusiaan dapat menjadi pelanggaran serius terhadap hukum hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional.

Menurut laporan Turk, junta militer Myanmar membunuh dan melukai ribuan warga sipil sambil menghancurkan barang dan infrastruktur yang diperlukan untuk bertahan hidup, termasuk makanan, tempat berlindung, dan pusat medis.

Diperkirakan 1,5 juta orang mengungsi secara internal dan sekitar 60.000 struktur sipil dilaporkan terbakar atau hancur.

Lebih dari 17,6 juta orang, atau sepertiga dari populasi keseluruhan, membutuhkan bantuan kemanusiaan dalam bentuk apa pun.

"Penduduk sipil hidup di bawah kekuasaan otoritas militer yang sembrono dan bergantung pada taktik pengendalian sistematis, ketakutan, dan teror," kata Turk kepada dewan.

Baca Juga: PBB: Pembatasan Bantuan oleh Junta Militer Myanmar Bisa Masuk Kategori Kejahatan Perang

Kepala HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Volker Turk mengatakan lebih dari 40 pekerja kemanusiaan telah tewas di Myanmar sejak kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih secara demokratis, Aung San Suu Kyi, pada tahun 2021. (Sumber: Associated Press)

"Sumber-sumber yang dapat dipercaya menunjukkan sampai kemarin, 3.747 individu tewas di tangan militer sejak mereka berkuasa, dan 23.747 telah ditangkap," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia itu.

Angka-angka tersebut hanya mencakup kasus-kasus yang terdokumentasi, yang berarti jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

Pada bulan Juni, Amerika Serikat mengumumkan sanksi terhadap Kementerian Pertahanan Myanmar dan dua bank yang "dikuasai rezim" yang memungkinkan transaksi antara rezim militer dan pasar luar negeri untuk membeli senjata dan bahan lainnya.

Pembatasan rezim militer Myanmar terhadap bantuan yang menyelamatkan nyawa semakin meningkat, dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang seperti perlakuan yang merendahkan, kelaparan, dan hukuman kolektif, kata laporan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat lalu.

Laporan oleh kepala HAM PBB tersebut mengatakan militer membentuk sistem pengendalian yang meliputi segalanya sejak kudeta pada Februari 2021, dan menambahkan langkah-langkah mendesak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar rakyat.

Pasukan junta militer menargetkan fasilitas medis, membakar toko-toko makanan, menghancurkan sumur-sumur air, dan bahkan membunuh tiga orang pengungsi yang mencoba kembali ke desa mereka untuk bercocok tanam, demikian laporan tersebut.

"Penyedia bantuan secara konsisten terpapar risiko penangkapan, pelecehan, atau perlakuan buruk lainnya, atau bahkan kematian," kata Juru Bicara Hak Asasi Manusia PBB, Ravina Shamdasani, dalam konferensi media. Sekitar 17 juta orang di negara ini, atau sekitar sepertiga dari populasi, membutuhkan bantuan, demikian kata PBB.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Straits Times


TERBARU