> >

Capres Sayap Kanan Prancis Berpeluang Menangi Pilpres, Ini Gambaran bila Marine Le Pen Jadi Presiden

Kompas dunia | 22 April 2022, 21:23 WIB
Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, tertawa saat konferensi pers di Vernon, barat Paris, Selasa, 12 April 2022. Visi Le Pen untuk Prancis jika dia memenangi pemilihan presiden putaran kedua pada Minggu (24/4/2022) akan mencakup larangan jilbab di tempat umum, anak sekolah berseragam, dan undang-undang yang disahkan melalui referendum. (Sumber: AP Photo/Francois Mori)

PARIS, KOMPAS.TV — Tidak ada lagi jilbab muslim di tempat-tempat umum di seluruh Prancis. Semua anak sekolah berseragam. Undang-undang diusulkan dan disahkan melalui referendum. Layanan sosial yang murah hati tidak tersedia bagi orang asing kecuali mereka telah bekerja selama lima tahun.

Itu hanya contoh visi Marine Le Pen untuk Prancis jika pemimpin sayap kanan itu menang melawan petahana Emmanuel Macron dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) putaran kedua pada Minggu (24/4/2022).

Dalam segala hal, Prancis, dan orang Prancis akan didahulukan, seperti laporan Associated Press, Jumat (22/4/2022).

Jajak pendapat menggambarkan Macron sebagai yang terdepan dalam pemungutan suara pada Minggu, tetapi kemenangan Le Pen mungkin terjadi, dan akan menjadi sebuah hasil yang dapat mengguncang sistem pemerintahan Prancis.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran di antara para imigran dan kaum muslim Prancis, mengguncang dinamika 27 negara Uni Eropa, dan membuat sekutu NATO bingung.

Macron, 44 tahun, adalah seorang sentris yang sangat pro-Uni Eropa, dan tanpa henti mengecam musuhnya sebagai berbahaya, dan membingkai pertarungan mereka dalam Pilpres sebagai pertempuran ideologis untuk jiwa bangsa.

Le Pen, 53 tahun, memandang Macron sebagai teknokrat progresif yang menganggap Prancis hanyalah "wilayah" dari Uni Eropa.

Le Pen mengatakan akan memperlengkapi kembali sistem politik negara dan Konstitusi Prancis untuk mengakomodasi agenda populisnya, menempatkan Uni Eropa di tempat kedua dan membuat Prancis kembali ke jati diri dan prinsip-prinsip dasarnya.

"Saya bermaksud menjadi presiden yang mengembalikan suara rakyat di negara mereka sendiri," kata Le Pen.

Kritikus takut akan ancaman demokrasi di bawah Le Pen, seorang nasionalis yang nyaman dengan perdana menteri otokratis Hongaria, Viktor Orban, dan partai sayap kanan anti-imigran di tempat lain di Eropa.

Le Pen bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum Pilpres Prancis 2017, di mana dia kalah telak dari Macron.

Baca Juga: Macron Menentang Larangan Hijab Le Pen, Sebut Prancis Terancam Perang Saudara jika Itu Terjadi

Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, berbicara dengan seorang perempuan berhijab saat ia berkampanye di Pertuis, selatan Prancis, Jumat (15/4/2022). Visi Le Pen untuk Prancis jika dia memenangi pemilihan presiden putaran kedua pada Minggu (24/4/2022) akan mencakup larangan jilbab di tempat-tempat umum, anak sekolah berseragam, dan undang-undang yang disahkan melalui referendum. (Sumber: AP Photo/Daniel Cole)

Amerika Serikat menganggap Prancis sekutu tertuanya, tetapi kepresidenan Le Pen dapat menimbulkan masalah bagi pemerintahan Presiden Joe Biden dengan merusak persatuan trans-Atlantik atas sanksi terhadap Rusia dan dengan memperkuat populis otokratis di tempat lain di Eropa.

Pemimpin partai National Rally Le Pen juga memandang curiga kesepakatan perdagangan bebas dan akan mencari sikap yang lebih independen untuk Prancis di PBB dan badan multilateral lainnya.

Dalam kolom yang diterbitkan Kamis (21/4/2022) di beberapa surat kabar Eropa, para pemimpin kiri-tengah Jerman, Spanyol dan Portugal yang semuanya mendukung Macron, memberi peringatan tentang “populis dan ekstrem kanan” yang menganggap Putin “sebagai model ideologis dan politik, dan mereplikasi ide-ide chauvinisnya.”

“Mereka menggemakan serangan terhadap minoritas dan keragaman, dan tujuannya adalah untuk keseragaman nasional,” tulis Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez dan Perdana Menteri Portugis António Costa.

Pertemuan Le Pen lima tahun lalu dengan Putin menghantui kampanyenya di tengah serangan Rusia di Ukraina, meskipun dia mengutuk invasi Rusia “tanpa ambiguitas.”

Tetapi jika menjadi presiden, Le Pen mengatakan, dia akan berpikir dua kali untuk memasok senjata ke Ukraina dan akan menentang sanksi energi terhadap Moskow, demi dompet rakyat Prancis dan demi rakyat Rusia.

Le Pen juga mengatakan dia akan menarik Prancis keluar dari komando militer NATO, yang dianggap akan melemahkan front persatuan aliansi militer Barat melawan Moskow.

Ia juga menganggap harus ada "perbaikan hubungan strategis" dengan Rusia setelah perang berakhir, menggemakan posisi masa lalu Macron, yang telah mencoba menjangkau Putin.

Baca Juga: Capres Prancis Larang Sembelih Hewan untuk Daging Halal, Kaum Muslim dan Yahudi Ketar-ketir

Seorang wanita berjalan di dekat poster kampanye presiden di Marseille, Prancis selatan, Rabu, 13 April 2022. Visi Le Pen untuk Prancis jika dia memenangi pemilihan presiden putaran kedua pada Minggu (24/4/2022) akan mencakup larangan jilbab di tempat-tempat umum, anak sekolah berseragam, dan undang-undang yang disahkan melalui referendum. (Sumber: AP Photo/Daniel Cole, File)

Namun, pemerintahnya mengatakan telah mengirim lebih dari 100 juta euro senjata ke Ukraina sejak perang dimulai, dan Prancis menjadi pusat sanksi Barat yang semakin keras terhadap Rusia.

Le Pen memproyeksikan citra pengasuhan sepanjang kampanyenya, dengan mengatakan dia akan mengawasi Prancis sebagai "ibu dari keluarga."

Dia berfokus pada daya beli konsumen sambil berdiri teguh pada isu-isu simbolis yang mendefinisikan sayap kanan, seperti imigrasi, keamanan, identitas nasional dan kedaulatan.

Untuk melunakkan pukulan kenaikan harga, Le Pen ingin memangkas pajak tagihan energi dari 20 persen menjadi 5,5 persen dan berjanji mengembalikan 150-200 euro per bulan ke kantong konsumen.

Macron, mantan menteri ekonomi dan bankir Prancis, menganggap langkah-langkah seperti itu salah arah dan tidak layak secara ekonomi.

Le Pen menegaskan agendanya membahas "Prancis yang terlupakan" yang selama ini diabaikan Macron.

Le pen mengusulkan sebuah "revolusi referendum" sebagai inti dari rencananya untuk membantu menyembuhkan "keretakan demokrasi" yang menurutnya menyebabkan rendahnya jumlah pemilih dalam pemilihan Prancis baru-baru ini dan meningkatnya perselisihan sosial.

Baca Juga: Kursi Presiden Prancis Sengit Diperebutkan, Ternyata Ini Kerja dan Wewenangnya

Presiden Prancis Emmanuel Macron dan calon presiden, Marine Le Pen, pada debat terbuka di TV. Macron menentang rencana Le Pen melarang hijab bagi muslim. (Sumber: Ludovic Marin, Pool via AP)

Undang-undang dapat disahkan melalui referendum, melewati anggota parlemen terpilih, setelah para pendukung mengumpulkan tanda tangan dari 500.000 pemilih yang memenuhi syarat.

Itu adalah tuntutan dari gerakan “rompi kuning” yang terkadang penuh kekerasan yang menantang kepresidenan Macron dua tahun lalu.

“Selama mandat saya, saya mengandalkan konsultasi kepada satu-satunya ahli yang tidak pernah dikonsultasikan oleh Emmanuel Macron, yaitu rakyat Prancis,” kata Le Pen bulan ini.

Tapi ada halangan.

Konstitusi Prancis perlu direvisi untuk memberi warga negara suara langsung dalam pembuatan undang-undang. Itu juga perlu diubah demi tujuan utama Le Pen lainnya: memberikan "preferensi nasional" untuk perumahan negara dan tunjangan pekerjaan kepada warga negara Prancis ketimbang orang asing.

Macron gagal dalam upayanya sendiri untuk mengubah konstitusi, sebuah proses rumit yang membutuhkan dukungan dari kedua majelis parlemen.

Le Pen ingin menghindarinya dengan menggunakan pasal khusus dalam konstitusi seperti yang dilakukan Jenderal Charles de Gaulle pada tahun 1962 untuk memungkinkan hak pilih universal langsung.

“Dia ingin mendinamit demokrasi liberal dengan menggunakan rakyat,” tulis empat profesor hukum tata negara dalam surat kabar Le Monde.

Baca Juga: Begini Sengitnya Persaingan Menuju Putaran 2 Pemilu Memperebutkan Kursi Presiden Prancis

Presiden petahana Prancis Emmanuel Macron, kiri, dan kandidat sayap kanan militan penantang Macron, Marine Le Pen, kanan. Pemilu Presiden Prancis putaran 2 pada 24 April akan berlangsung sengit dengan menguatnya kubu sayap kanan yang dipimpin kandidat Marine Le pen menghadapi petahana Emmanuel Macron. (Sumber: France24)

Le Pen akan menggunakan referendum untuk item lain dalam paket kontroversial yang dia usung, di antaranya menghentikan "imigrasi yang tidak terkendali."

Ini termasuk menangani permintaan suaka di luar negeri, bukan di Prancis, dan “secara sistematis” mengusir migran tanpa surat izin tinggal, antara lain; dan mengakhiri kewarganegaraan otomatis bagi mereka yang lahir di Prancis dari orang tua asing.

Le Pen juga akan mengembalikan seragam di semua sekolah, dan memperkuat wewenang polisi.

Le Pen menyebut jilbab muslim sebagai "seragam Islamis" dan mengusulkan larangan memakainya di tempat umum.

Macron mengatakan dalam debat pada Rabu (20/4/2022) malam, larangan semacam itu dapat menyebabkan “perang saudara” di negara yang memiliki populasi muslim terbesar di Eropa Barat.

Tapi seorang perempuan tua berjilbab biru-putih menghadapi Le Pen minggu lalu di kota selatan Pertuis yang mungkin telah merusak rencananya.

“Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?” tanyanya pada Le Pen.

Setelah penolakan oleh perempuan itu, pejabat partai Le Pen bergerak untuk memperbaiki citranya dengan mengatakan bahwa pelarangan jilbab di jalan-jalan akan menjadi progresif dan tidak menargetkan "nenek berusia 70 tahun."

Le Pen, bagaimanapun, mengatakan pada Jumat (22/4/2022) di radio Europe 1 bahwa "peran seorang nenek adalah melindungi cucu perempuan kecil mereka, dan saya meminta mereka untuk membantu saya."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/Associated Press


TERBARU