> >

Maladewa di Antara Pendapatan Turisme dan Krisis Iklim

Kompas dunia | 27 September 2021, 20:31 WIB
Presiden Maladewa Ibrahim Mohamed Solih berbicara di Sidang Umum PBB, Selasa (21/9/2021). (Sumber: Eduardo Munoz/Pool Reuters via Associated Press)

NEW YORK, KOMPAS.TV - Dilema membayangi Maladewa dan negara-pulau kecil lain anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak negara dengan karakteristik seperti Maladewa sangat rentan terhadap krisis iklim.

Di lain sisi, mereka mengandalkan pendapatan dari sektor turisme yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.

Laju perubahan iklim membuat negara-negara itu diliputi dilema mengkhawatirkan, pilih mata pencaharian (turisme) atau kehidupan?

Kegelisahan ini disampaikan perwakilan Maladewa di Sidang Umum PBB pada pekan lalu. Krisis iklim merupakan salah satu tema utama dalam sidang yang berlangsung di New York, Amerika Serikat (AS) ini.

Baca Juga: Biden Ajak Semua Negara Atasi Masalah Global, Perubahan Iklim, hingga Pelanggaran HAM

Presiden Maladewa Ibrahem Mohamed Solih mendesak majelis negara-negara untuk lebih serius menghadapi krisis iklim.

“Perbedaan (kenaikan suhu) antara 1,5 derajat dan 2 derajat adalah hukuman mati bagi rakyat Maladewa,” kata Solih dalam Sidang Umum PBB sebagaimana dikutip Associated Press.

Akan tetapi, Maladewa juga tak bisa semata menghentikan industri turisme. Sektor yang menyasar turis-turis asing ini merupakan pendapatan utama negara tersebut. Hal yang sama berlaku pada negara-pulau kecil yang lain.

PBB sendiri mengkategorikan 38 negara sebagai negara-pulau berkembang kecil. Negara-negara itu dikelompokkkan berdasarkan “sosial, ekonomi, dan tantangan lingkungan hidup yang khusus”.

Kelompok ini rentan terhadap krisis iklim sekaligus amat bergantung pada turisme. Sektor turisme sendiri disebut bertanggung jawab atas 8 persen dari total emisi karbon dioksida global.

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU