> >

Merasa Dikadali Australia dalam Kesepakatan Pembelian Kapal Selam, Prancis Tarik Duta Besarnya

Kompas dunia | 18 September 2021, 21:21 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kedua dari kiri) dan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull (kedua dari kanan) berdiri di geladak kapal selam Angkatan Laut Australia di Sydney pada 2018. (Sumber: Straits Times via AFP)

PARIS, KOMPAS.TV - Prancis pada Jumat (17/09/2021) memanggil duta besarnya untuk Amerika Serikat (AS) dan Australia untuk berkonsultasi dalam perselisihan sengit mengenai pembatalan kontrak kapal selam. Ini sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mengungkapkan tingkat kemarahan Prancis terhadap sekutunya itu seperti dilansir France24, Sabtu (18/9/2021).

Presiden Emmanuel Macron memerintahkan penarikan duta besar setelah Canberra membatalkan sepihak kesepakatan untuk membeli kapal selam Prancis demi kapal selam buatan AS, kata Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian.

Le Drian mengatakan dalam sebuah pernyataan, keputusan sudah dibuat untuk "segera" memanggil kembali dua duta besar Prancis dari Canberra dan Washington karena "keseriusan yang luar biasa dari pengumuman yang dibuat pada 15 September oleh Australia dan AS".

Sebuah sumber diplomatik di Prancis mengatakan, ini adalah kali pertama Paris menarik duta besarnya sendiri dengan cara ini.

Australia mengatakan pada Sabtu, mereka menyesali keputusan Prancis memanggil kembali duta besarnya untuk Canberra. Tetapi, Australia menghargai hubungannya dengan Prancis dan akan terus terlibat dengan Paris dalam banyak masalah lainnya.

"Kami sangat menyesalkan keputusan Prancis menarik duta besarnya untuk Australia," kata juru bicara kementerian luar negeri Australia dalam sebuah pernyataan. “Australia menghargai hubungan dengan Prancis. Kami berharap dapat terlibat lagi dengan Prancis dalam banyak masalah kepentingan bersama kami, berdasarkan nilai-nilai bersama.”

Pembatalan proyek kapal selam kelas Ocean yang dikerjakan Australia dan Prancis sejak 2016 itu merupakan “perilaku yang tidak dapat diterima di antara sekutu dan mitra”, kata menteri tersebut.

“Konsekuensinya memengaruhi konsep yang kami miliki tentang aliansi kami, kemitraan kami, dan pentingnya Indo-Pasifik bagi Eropa.”

Baca Juga: Kemlu RI Prihatin dengan Rencana Australia Bangun Kapal Selam Nuklir di Indo-Pasifik

Australia berencana mengganti seluruh kapal selam disel dan elektrik kelas Collins mereka (Sumber: Straits Times via AFP)

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan, Prancis adalah "sekutu penting" dan AS akan terlibat dalam beberapa hari mendatang untuk menyelesaikan perbedaan.

Presiden AS Joe Biden mengumumkan aliansi pertahanan Australia-AS-Inggris yang baru pada hari Rabu (15/9/2021), memperluas teknologi kapal selam nuklir AS ke Australia, serta pertahanan dunia maya, kecerdasan buatan terapan, dan kemampuan bawah laut.

Pakta tersebut secara luas dipandang bertujuan untuk melawan kebangkitan China.

Langkah itu membuat marah Prancis, yang kehilangan kontrak untuk memasok kapal selam konvensional ke Australia senilai 50 miliar dolar Australia saat ditandatangani tahun 2016.

Penarikan duta besar Prancis dari AS dan Australia, sekutu utama Prancis, belum pernah terjadi sebelumnya.

Prancis tidak berusaha untuk menyembunyikan kemarahannya. Pada Kamis (16/9/2021), Paris menuduh Canberra menikam dari belakang dan Washington atas kelakuan yang persis seperti era Donald Trump atas kesepakatan kapal selam mereka.

"Ini benar-benar menusuk dari belakang," kata Le Drian pada Kamis. “Kami telah menjalin hubungan kepercayaan dengan Australia, (tapi) kepercayaan ini telah dikhianati.”

Prancis juga telah membatalkan gala di rumah duta besarnya di Washington yang dijadwalkan pada hari Jumat.

Acara itu seharusnya merayakan ulang tahun pertempuran laut yang menentukan dalam Revolusi Amerika, di mana Prancis memainkan peran kunci.

Baca Juga: Macron Luncurkan Kereta Super Cepat Terbaru Prancis, Lebih Ramah Lingkungan, Mulai Beroperasi 2024

Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat mengumumkan persekutuan militer Amerika Serikat, Inggris dan Australia 15 September lalu (Sumber: Straits Times via AFP)

Australia sebelumnya mengabaikan kemarahan China atas keputusannya untuk mengakuisisi kapal selam bertenaga nuklir AS, sambil bersumpah untuk membela aturan hukum di wilayah udara dan perairan di mana Beijing telah mempertaruhkan klaim yang diperebutkan.

Beijing menggambarkan aliansi baru itu sebagai ancaman "sangat tidak bertanggung jawab" terhadap stabilitas regional. China mempertanyakan komitmen Australia terhadap non-proliferasi nuklir dan memperingatkan sekutu Barat Australia, mereka berisiko "menembak kaki mereka sendiri".

China memiliki “program pembangunan kapal selam nuklir yang sangat substantif”, kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada hari Jumat dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio 2GB.

Dia menolak kritik Prancis bahwa mereka belum diperingatkan tentang kesepakatan baru. Morrison juga mengatakan, dia telah mengangkat kemungkinan dalam pembicaraan dengan Presiden Prancis bahwa Australia mungkin membatalkan kesepakatan Naval Group.

Morrison bersikeras dia telah memberi tahu Macron pada Juni lalu bahwa Australia telah merevisi pemikirannya.

“Saya membuatnya sangat jelas, kami makan malam panjang di Paris, tentang kekhawatiran kami yang sangat signifikan tentang kemampuan kapal selam konvensional untuk menghadapi lingkungan strategis baru yang kami hadapi,” katanya kepada 5aa Radio.

“Saya menjelaskan dengan sangat jelas, ini adalah masalah yang perlu diambil Australia untuk kepentingan nasional kita.”

China mengklaim hampir semua wilayah Laut China Selatan yang kaya sumber daya, yang dilalui perdagangan senilai triliunan dolar AS setiap tahun. China menolak klaim tumpang tindih dari Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Beijing dituduh menyebarkan berbagai perangkat keras militer termasuk rudal anti-kapal dan rudal permukaan-ke-udara di sana. Beijing juga mengabaikan keputusan pengadilan internasional 2016 yang menyatakan klaim historisnya atas sebagian besar perairan itu sebagai tidak berdasar.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Straits Times


TERBARU