> >

9/11: Kisah Seorang Mantan Marinir AS, Seorang Anak Kecil Afghanistan, dan Trauma yang Terus Melekat

Kompas dunia | 11 September 2021, 06:05 WIB
Jurnalis investigasi Associated Press James LaPorta dan putranya Joel, 5, duduk di rumah mereka, Selasa, 7 September 2021, di Boca Raton, Florida. LaPorta mengingat seorang anak laki-laki yang ditemuinya di Afghanistan pada tahun 2013 saat menjabat sebagai Marinir. (Sumber: AP Photo/Marta Lavandier)

FLORIDA, KOMPAS.TV - Tragedi serangan 11 September 2001 di New York atas dua gedung pencakar langit World Trade Center yang menewaskan ribuan orang, serta peristiwa yang mengikutinya, yaitu serbuan atas Afghanistan untuk melenyapkan kelompok teroris Al-Qaeda, meninggalkan begitu banyak luka di kehidupan manusia. 

Keluarga korban serangan 11 September, warga Afghanistan yang terperangkap di tengah pertempuran Amerika Serikat (AS) melawan Taliban dan Al-Qaeda, serta seluruh personel militer di kedua belah pihak pulang membawa luka dalam yang parah, termasuk jurnalis Associated Press, James LaPorta, yang juga seorang mantan Marinir AS.

Ini adalah kisah luka hati James LaPorta, saat melihat anak lelaki kecilnya, lalu teringat akhir yang tragis dari anak seusia di Afghanistan saat dia bertugas dulu, seperti dilansir Associated Press, Jum'at (10/9/2021).

Simak kisahnya.

Suatu hari belum lama ini, saya melihat putra saya yang akan segera berusia 3 tahun melompat-lompat mengikuti suara “ho” dan “hei”

Ini adalah lagu dari Lumineers, sebuah band folk-rock Amerika. Lirik dan hentakan bergema di seluruh dapur hingga ke ruang dalam rumah. Anak saya melompat pada setiap bait lagu, yang diakhiri dengan teriakan.

“So show me, family. Hey!” lalu anakku melompat.

“All the blood that I will bleed. Ho!” dia kembali melompat.

“I don’t know where I belong. Hey!” dia terus melompat.

“I don’t know where I went wrong. Ho!” Dia melompat. Dan kemudian, saya juga.

Inilah penuturan James LaPorta tentang kisah seorang anak lelaki kecil yang ia temui di Afghanistan dulu.

Baca Juga: 9/11: Bagaimana Serangan 9/11 Menyisakan Pahit dan Luka bagi Warga Afghanistan Kini

Anak-anak Afghanistan bermain diatas lapak pedagang di kota tua Kabul tahun 2010 (Sumber: AP Photo/Rodrigo Abd, File)

Dia adalah seorang anak lelaki yang selalu penasaran namun tanpa nama, setidaknya, tanpa nama yang pernah saya (James LaPorta) ketahui.

Saat itu tahun 2013, lebih dari satu dekade setelah serangan 9/11. Saat itu saya adalah anggota Marinir AS yang kembali ke Afghanistan untuk penugasan kedua kalinya.

Saat itu, saya sedang bekerja untuk menghentikan sel Taliban yang khusus membuat alat peledak improvisasi. Dalam upaya itu, sebuah video muncul, dan saya menontonnya.

Saya ingat anak itu. Saya tidak bisa melupakan dia. Saya ingat menonton video berdurasi satu menit yang menunjukkan kamera video statis yang diarahkan ke jalan sempit di antara dua dinding gubuk yang terbuat dari lumpur, lumrah di dusun kecil yang sering dikelilingi oleh ladang opium. Di layar yang saya tatap, tidak banyak yang bergerak.

Saya ingat, angin dari timur menendang debu seperti bulan ke barat. Pohon dan bayangannya bergerak melintasi tanah saat cabang dan daun memecah sinar matahari untuk membuat pola seni abstrak di lantai gurun.

Saya ingat anak laki-laki itu, penuh energi dan kehidupan, berlari ke dalam bingkai rekaman video dan kemudian keluar dari bingkai tersebut, berlari dari kiri ke kanan.

Anak laki-laki kecil itu, dan anak laki-laki saya, mereka sama. Rasa keingintahuan mereka akan kehidupan sangat menonjol. Setelah muncul dari sisi kiri dan menghilang di sisi kanan layar video, anak laki-laki yang penasaran tanpa nama itu berjalan perlahan kembali, seperti terekam di dalam layar video saya, dari kanan ke kiri.

Anak itu anak Afghanistan. Dan, mengingat provinsi tempat kami berada, Helmand tepatnya, dia mungkin berbicara bahasa Pashto.

Ukuran tubuhnya yang kecil membuat saya berpikir, anak itu berusia antara 3 hingga 5 tahun. Mungkin juga dia berusia 6 tahun, dan ini suatu prestasi tersendiri. Konon kabarnya, satu dari 10 anak di Afghanistan meninggal sebelum mereka berusia 5 tahun.

Baca Juga: 9/11: Bagaimana Serangan 9/11 Membentuk Joe Biden Sebagai Presiden Amerika Serika

Anak-anak Afghanistan bermain dengan pecahan logam sisa penyerangan di Kabul, Afghanistan. Anak-anak Afghanistan terpapar kekerasan, kekejian, dan kematian akibat perang hampir setiap hari (Sumber: AP Photo)

Saat rasa ingin tahu anak itu merajalela, saya tahu apa yang tidak dia ketahui.

Ketika dia berlari ke dalam layar video dan kemudian keluar darinya, dia telah menginjak titik tanah yang lunak, sepetak yang berbeda dari sisa tanah yang padat di sampingnya. Dia ingin tahu mengapa, sementara saya tidak.

Perlahan dia berjalan kembali ke bingkai tengah layar video lalu mempelajari tanah lunak itu dengan cermat.

Seperti mainan yang baru ditemukan, dia mulai kembali menginjak titik lunak di tanah. Lagi dan lagi, dia terus menginjak. Aku hanya bisa menunggu tanpa bisa berbuat apa-apa, karena saya mengetahui apa yang saya tahu.

Alat peledak improvisasi yang ledakannya dipicu oleh anak itu, yang dikenal sebagai VOIED, punya sakelar yang dikenal sebagai pelat tekanan. Idenya adalah bom itu diledakkan oleh orang yang menginjak pelat tersebut secara tidak sadar, mengakibatkan sambungan listrik yang memicu bom meledak.

Sumber listrik memasok listrik antara sakelar dan detonator hingga meledak. Akibat dipicu aktifnya detonator, gas memanas dan mengembang dengan cepat di bawah tekanan yang kemudian mengirimkan gelombang kejut dan melontarkan pecahan peluru ke luar.

Singkatnya, bila Anda menginjak IED atau peledak yang diimprovisasi, dan, jika bobot anda cukup berat, bomnya meledak.

Semua ini tidak diketahui oleh bocah tanpa nama yang penasaran dan terus menginjak benda yang ternyata bom yang tidak mau meledak itu. Anak itu tidak tahu bahwa benda yang diinjaknya adalah bom yang bisa mencabut nyawanya.

Baca Juga: 9/11: Benarkah Arab Saudi Terlibat Serangan Al-Qaeda?

Jurnalis investigasi Associated Press James LaPorta dan putranya Joel, 5, duduk di rumah mereka, Selasa, 7 September 2021, di Boca Raton, Florida. LaPorta mengingat seorang anak laki-laki yang ditemuinya di Afghanistan pada tahun 2013 saat menjabat sebagai Marinir. (Sumber: AP Photo/Marta Lavandie)

Alasan bahwa bom tidak langsung meledak saat pemicunya diinjak sang anak mungkin bahkan lebih berbahaya daripada bom itu sendiri. Anak itu terlalu kekurangan gizi dan beratnya tidak cukup untuk memicu ledakan bom yang pasti akan membunuhnya. Jadi dia terus menginjak berulang kali.

Saya ingat semuanya. Saya ingat saya ingin berteriak padanya melalui layar komputer untuk berhenti menjadi anak laki-laki berusia 5 tahun yang penasaran, untuk berhenti, untuk berteriak keras "TOLONG BERHENTI menginjak titik lemah di tanah itu!".

Saya ingat saya ingin berteriak. Saya ingat terpaku diam dan hanya menonton layar. Saya ingat, saat itu saya sama sekali tidak berdaya.

Bocah penasaran tanpa nama itu lalu melompat untuk terakhir kalinya, dan sedetik kemudian anak itu menghilang menjadi awan debu api dan robekan daging yang tercerai-berai di udara.

Video itu berakhir dengan pertanyaan sederhana dari alat pemutar: "Putar ulang?"

Di dalam kepala saya, saya tidak memiliki kendali atas jawabannya.

Apa yang saya lihat di video itu terus terbayang di benak saya tahun demi tahun, seolah-olah selaras dan sempurna dengan perang Afghanistan itu sendiri.

Dalam banyak hal, perang menjadi monster dalam hidup saya. Semuanya ditentukan oleh siapa saya sebelum perang dan siapa saya setelah perang.

Monster itu membawa teman-teman saya ke dalam pertempuran antar senjata, atau lebih baru, melalui tangan mereka sendiri.

Saya bisa menyalahkannya atas kemarahan dan depresi saya. Hidup saya menjadi malam tanpa tidur berkepanjangan, diperparah dengan kebiasaan makan yang tidak sehat serta penambahan berat badan.

Pernikahan saya juga gagal. Lalu suplai obat-obatan yang terus-menerus untuk saya dari kantor urusan veteran perang. Dengung di telingaku dan sesak napas di paru-paruku. Berapa lama sampai kanker berkembang dari lubang luka bakar beracun di dada, saya bertanya-tanya.

Baca Juga: 9/11: Veteran CIA Yakin Taliban akan Undang Al-Qaeda Bangun Kembali Afghanistan

Seorang perempuan Afghanistan berdiri di luar tendanya di Baluchistan, Pakistan, 1 September 2021. Puluhan keluarga Afghanistan menyeberang ke perbatasan Pakistan setelah Taliban mengambil alih pemerintahan di negara mereka. (Sumber: Associated Press)

Afghanistan adalah luka yang menyesakkan dada saya, dan akan selalu menyesakkan. Terlepas dari apa yang telah kita lihat beberapa minggu terakhir ini, sebuah perang tidak berakhir dengan penarikan mundur atau kemunduran atau penandatanganan perjanjian damai.

Sebaliknya, mereka surut dan mengalir dalam ingatan orang-orang yang ada di sana dan orang-orang yang menerima ketukan yang terdengar menyesakkan di pintu depan suatu hari, dari orang-orang berseragam militer.

Di medan pertempuran itu, ada kehancuran permanen dari mereka yang terlibat maupun terjebak didalamnya. Ini adalah "perang selamanya atau Forever War" yang sebenarnya.

Fakta sejarah membuktikan skeptisisme atas perang yang paling lama berjalan bagi AS, yang berujung pada akhir yang kacau dan berdarah.

Itu mengingatkan kita bahwa Presiden Trump saat memerintah, mengatakan dia akan membawa pasukan pulang pada Natal, dan itu tidak terjadi.

Kurang dari setahun sebelum saya menyaksikan bocah yang penasaran itu hidup melalui saat-saat terakhirnya, Presiden Obama men-tweet kata-kata Wakil Presiden Biden saat itu: "Kami akan pergi pada tahun 2014. Titik."

Tetapi kami tidak pergi dari situ, setidaknya di sanubari kami.

Setelah bertahun-tahun pernyataan dari Washington tentang "kemajuan" di Afghanistan, Jenderal Angkatan Darat Mark Milley, Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata, mengatakan pada bulan Desember bahwa AS hanya mencapai "sedikit keberhasilan" setelah hampir dua dekade perang. Perang yang membuat keluarga Amerika dan Afghanistan hancur secara permanen.

Saya melihat ke sekeliling. Apa yang rakyat negara saya ketahui tentang perang ini, tentang darah yang tertumpah dan harta benda yang hilang, apa yang mereka ketahui tentang saya dan perang itu?

Baca Juga: China Tunjukkan Komitmen ke Taliban, Siapkan Bantuan Senilai Rp 441 Miliar untuk Afghanistan

Dua orang perempuan pengungsi domestik warga Afghanistan yang berasal dari wilayah utara mengenakan burqa, pada 13 Agustus 2021, seperti yang diwajibkan pada masa kekuasaan Taliban 1996 - 2001 (Sumber: AP Photo/Rahmat Gul)

Pada tahun 2009, Menteri Pertahanan saat itu Robert Gates mengatakan, "Apa pun sentimen mereka terhadap pria dan wanita berseragam, bagi kebanyakan orang Amerika, perang tetap merupakan abstraksi, serangkaian berita yang jauh dan tidak menyenangkan serta tidak mempengaruhi mereka secara pribadi."

Di sekitar saya, di sekitar Anda, generasi terbaru veteran tempur Amerika bertransisi ke kehidupan sipil. Mereka mencari pekerjaan, dan hanya terkadang saja mendapatkan pekerjaan.

Para veteran perang itu mencari perawatan kesehatan, dan menemukan mereka membutuhkan lebih banyak bantuan kesehatan.

Mereka kadang-kadang diperhatikan, kadang-kadang diabaikan, namun masih seorang kombatan.

Kali ini jurang pemisah semakin dalam antara sebagian kecil orang Amerika yang menanggung beban perang, dan mereka yang melihat perang hanyalah, seperti yang dikatakan Gates, “sebuah abstraksi.”

Saya berada di rumah saya lagi, jauh dari provinsi Helmand, jauh dari hari-hari saya yang kacau di Afghanistan, jauh dari penderitaan yang sedang berlangsung saat ini.

Bertahun-tahun setelah anak laki-laki yang ingin tahu itu melompat ke permukaan tanah Afghanistan yang lembut untuk terakhir kalinya sebelum tewas berkeping karena ledakan, di rumah saya, The Lumineers bernyanyi, dan anak saya menari.

“All the blood that I will bleed. Ho!” anak saya melompat.

“I don’t know where I belong. Hey!” anak saya kembali melompat.

“I don’t know where I went wrong. Ho!” 

Anak saya kembali melompat dan tetap menari, tidak seperti anak Afghanistan saat itu, yang melompat senang namun untuk terakhir kali.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU