> >

Sudah Tidak Ada Suara Musik dan Perdebatan di Udara Afghanistan, Hanya Kesunyian Tersisa

Kompas dunia | 31 Agustus 2021, 22:45 WIB
Program musik dan program politik, budaya dan berita yang tidak terkait dengan masalah agama, menghilang dari dunia publik Afghanistan. (Sumber: Straits Times)

ISLAMABAD, KOMPAS.TV - Bahkan sebelum penerbangan terakhir Amerika Serikat (AS) meninggalkan Kabul pada Senin (30/8/2021) tengah malam, banyak pemandangan mencolok dan suara kehidupan kota di Afghanistan mulai berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang sama sekali baru.

Sepeninggal warga yang memilih untuk keluar dari Afghanistan, mereka yang tertinggal berusaha menyesuaikan diri dengan gaya tegas pemerintah baru mereka, Taliban.

Taliban sejauh ini berusaha menunjukkan wajah yang lebih sejuk kepada dunia.

Tak ada hukuman keras dipertontonkan di depan publik dan tak ada larangan menggelar hiburan rakyat seperti yang mereka terapkan saat berkuasa dulu, sebelum digulingkan pasukan Sekutu pada 2001.

Kegiatan budaya diperbolehkan, kata Taliban, sejauh tidak melanggar hukum Syariat dan budaya Islam Afghanistan.

Otoritas Taliban di Kandahar, kota kelahiran gerakan itu, menerbitkan perintah formal pekan lalu yang melarang stasiun radio memutar musik dan suara penyiar perempuan.

Namun bagi kebanyakan orang, tidak perlu perintah formal untuk melakukan itu.

Reklame warna-warni di depan salon-salon kecantikan sudah dicat ulang dan jeans telah diganti dengan pakaian tradisional. Stasiun radio pun mengubah menu siaran mereka dengan musik pop Hindi dan Persia, yang terdengar seperti musik patriotik yang muram.

"Bukan karena Taliban memerintahkan kami mengubah apa pun. Kami mengganti program sekarang karena kami tidak ingin Taliban memaksa kami berhenti siaran," kata Khalid Sediqqi, produser stasiun radio swasta di Kota Ghezni.

"Lagi pula, tak seorang pun di negara ini berminat mencari hiburan, (karena) kami semua sedang syok," kata dia.

"Saya malah tak yakin ada orang yang menyalakan radio sekarang."

Baca Juga: Inilah yang Terbentang di Depan Afghanistan setelah Taliban Kembali Berkuasa

Kelompok Taliban melakukan patroli di Kabul, Sabtu (28/8/2021). Anggotanya dikabarkan telah membunuh seorang penyanyi tradisional, Fawad Andarabi. (Sumber: AP Photo/Khwaja Tawfiq Sediqi)

Selama 20 tahun hidup di bawah pemerintah dukungan Barat, budaya populer tumbuh di Kabul dan kota-kota lain yang diwarnai kemunculan tempat kebugaran, minuman berenergi, gaya rambut kekinian dan lagu-lagu pop yang memancing orang untuk berdendang dan berdansa.

Opera sabun dari Turki, program siaran panggilan di radio, dan pertunjukan bakat di televisi seperti 'Bintang Afghan' sebelumnya menjadi kegemaran masyarakat. Namun kini semua sunyi.

Petinggi Taliban banyak yang dibesarkan di madrasah dan mengalami tahun-tahun yang sulit akibat peperangan. Mereka menganggap perubahan itu sudah keliwatan, dianggap melampaui batas.

"Budaya kami telah teracuni, kami melihat pengaruh Rusia dan Amerika di mana saja bahkan pada makanan yang kami santap, sesuatu yang harus disadari oleh masyarakat dan perlu diubah," kata seorang komandan Taliban.

"Ini mungkin perlu waktu tapi itu akan terjadi." kata komandan itu. 

Di seluruh negeri, perubahan juga jelas terlihat.

Meski petinggi Taliban berulang kali mengatakan pasukan mereka harus menghormati penduduk dan tidak sembarangan menghukum, banyak warga tidak percaya mereka mampu mengendalikan anggota-anggota yang ada di bawah.

Baca Juga: Dibunuh Taliban, Ini Sosok Fawad Andarabi Penyanyi Afghanistan

Sejumlah milisi Taliban berpatroli di wilayah Wazir Akbar Khan di Kabul, Afghanistan, Rabu (18/8/2021). Kini tak ada musik di seluruh Kota Jalalabad, orang ketakutan dan khawatir dipukul Taliban," kata Naseem, mantan pejabat di provinsi timur, Nangarhar. (Sumber: AP Photo/Rahmat Gul)

"Tak ada musik di seluruh Kota Jalalabad, orang ketakutan dan khawatir dipukul Taliban," kata Naseem, mantan pejabat di provinsi timur, Nangarhar.

Zarifullah Sahel, wartawan lokal di Provinsi Laghman dekat Kabul mengatakan, kepala komisi budaya lokal Taliban memberi tahu stasiun radio pemerintah dan enam stasiun radio swasta untuk menyesuaikan siaran mereka agar sejalan dengan hukum Syariat.

Sejak itu, program musik dan program berita, politik, dan budaya yang tidak berkaitan dengan masalah agama, telah dihentikan.

Namun, meskipun perintah formal belum dikeluarkan, pesannya sudah terbaca dengan jelas: era kebebasan telah berakhir dan akan lebih aman untuk tidak terlihat mencolok.

"Saya takut menjadi target Taliban kalau saya terlihat memakai jeans atau pakaian Barat," kata Mustafa Ali Rahman, mantan petugas pajak di Provinsi Lagman.

"Tak ada yang tahu apa yang mungkin akan mereka lakukan untuk menghukum kami," tutur seorang mantan aktivis sipil di kota utara, Mazar-i-Sharif, seraya mengatakan, toko dan restoran tampaknya sudah sepakat untuk mematikan radio.

"Tak ada peringatan soal musik, tapi kami sendirilah yang menghentikannya," kata dia.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Straits Times


TERBARU