> >

Prihatin Pelanggaran HAM Uighur, H&M sampai Nike Malah Diboikot Ramai-Ramai

Kompas dunia | 27 Maret 2021, 22:10 WIB
Pemerintah, artis, dan warga China melakukan boikot merek-merek pakaian Barat terkait isu kerja paksa Uighur di Xinjiang. (Sumber: AP Photo/Ng Han Guan)

BEIJING, KOMPAS.TV - Setidaknya 30 selebriti China memutus kontrak kerja sama dengan merek-merek barat yang menyatakan kekhawatiran terhadap laporan kerja paksa Uighur di Xinjiang. 

Mengutip Hollywood Reporter, boikot ini bermula dari pernyataan Liga Pemuda sayap partai yang berkuasa di China pada Rabu (24/3/2021) menyoal sikap merek pakaian H&M.

“Menyebarkan kebohongan untuk memboikot Xinjiang sambil ingin menghasilkan uang di China? Cuma mimpi,” kata Liga Pemuda itu.

Baca Juga: China Tuding Balik, Amerika Serikatlah Yang Militerisasi Laut China Selatan

Lalu, TV pemerintah China pada Kamis (25/3/2021) menyerukan boikot H&M. Hal ini berjalan menyusul sanksi negara-negara Barat terhadap pejabat China karena tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang.

Sebelumnya, H&M mengatakan pada Maret 2020 akan berhenti membeli kapas dari wilayah Xinjiang. Perusahaan Swedia itu bergabung dengan merek pakaian lain yang menyatakan keprihatinan soal laporan kerja paksa Uighur.

Surat kabar partai China Global Times juga mengkritik pernyataan Burberry, Adidas, Nike, New Balance dan Zara tentang Xinjiang sejak dua tahun lalu.

Kemudian, selebriti-selebriti China termasuk aktor Wang Yibo dan penyanyi Eason Chan mengumumkan bahwa mereka memutuskan kontrak kerja sama dengan merek-merek seperti H&M, Nike, dan Adidas.

Produk H&M juga hilang dari platform e-commerce paling populer di China, TMall dan JD.com. 

Tindakan boikot ini bukan kali pertama terjadi. Pemerintah China kerap menyerang merek-merek asing agar menyesuaikan diri dengan sikap resmi China terkait Taiwan, Tibet, Hongkong dan berbagai masalah sensitif lainnya.

Baca Juga: Lagi, 16 Demonstran Myanmar Tewas, Jubir Anti-Militer: Hari yang Memalukan buat Angkatan Bersenjata

Karena China memiliki penduduk terbanyak dan menjadi pasar global terbesar, perusahaan-perusahaan itu akhirnya kerap tunduk. Mereka biasanya meminta maaf dan mengubah isi situs atau iklan.

Tapi isu kerja paksa Uighur adalah masalah yang pelik. Di negara mereka sendiri, perusahaan-perusahaan itu menghadapi tekanan untuk menghindari keterlibatan dengan pelanggaran HAM.

Sementara, hilangnya pendapatan dari China juga bisa sangat merugikan perusahaan-perusahaan itu saat permintaan dari pasar AS dan Eropa melemah karena pandemi Covid-19.

Melalui akun media sosialnya, pihak H&M mengatakan, "Tidak mewakili sudut pandang politik apapun dan menghormati konsumen China."

Brian Ehrig, konsultan strategi dan manajemen global Kearney, memperkirakan sekitar 60 persen hingga 70 persen bahan mentah H&M, seperti kain berasal dari China. Dia mengatakan, boikot ini bakal menyulitkan perusahaan untuk mendapatkan kembali akses ke bahan baku.

Boikot ini berjalan setelah 27 negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris dan Kanada pada Senin (22/3/21021) menjatuhkan sanksi perjalanan dan keuangan pada empat pejabat China karena tuduhan pelanggaran HAM di Xinjiang.

Pada Januari, Washington juga memberlakukan larangan impor kapas dari Xinjiang, pemasok utama produsen pakaian untuk pasar Barat.

Baca Juga: Sebuah Dokumen Tak Sengaja Buktikan China Ingin Mengurangi Populasi Etnis Uighur

Menurut peneliti, lebih dari 1 juta orang etnis Uighur yang mayoritas beragama Islam di Xinjiang mesti hidup di kamp kerja paksa. Pemerintah China membantah perlakuan buruk pada etnis Uighur dan mengatakan pihaknya mencoba untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan membasmi radikalisme.

“Apa yang disebut keberadaan kerja paksa di wilayah Xinjiang benar-benar fiktif,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan, Gao Feng. 

Gao Feng juga meminta perusahaan-perusahaan Barat tersebut memperbaiki kesalahan mereka, tetapi tidak merinci apa yang mesti mereka lakukan.

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU