> >

Krisis Kelaparan, Bencana Kemanusiaan Mengintip di Madagaskar Selatan

Kompas dunia | 4 Desember 2020, 23:11 WIB
Anak-anak Desa Ankilimarovahatsy di Madagaskar selatan yang kelaparan dan kekurangan gizi berlindung di bawah pohon dari teriknya sinar matahari. Foto diambil pada 9 November 2020. (Sumber: AP Photo / Laetitia Bezain)

ANKILIMAROVAHATSY, KOMPAS.TV – “Kelaparanlah yang membunuhnya,” tutur Lasinatry (31) pilu, mengenang putranya yang masih berusia 3 tahun yang tewas Juni lalu saat bencana kelaparan merambah Desa Ankilimarovahatsy di selatan Madagaskar, wilayah tempat tinggalnya. Bencana kelaparan kali ini, jauh lebih hebat dari tahun-tahun terakhir.

“Kami, para orang tua, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk memberi makan anak-anak kami selain asam dan kaktus yang tumbuh di sekitar kami,” terang Lasinatry.

Menurut Program Pangan Dunia (WFP) seperti dilansir dari Associated Press, Jumat (4/12), Lasinatry hanya satu dari 1,5 juta penduduk yang membutuhkan bantuan makanan darurat. Bencana kelaparan kali ini diakibatkan kekeringan selama 3 tahun berturut-turut, pembiaran oleh pemerintah daerah setempat, dan pandemi Covid-19.

Baca Juga: Kejam, Korea Utara Biarkan Penderita Covid-19 Kelaparan hingga Mati di Tempat Karantina Rahasia

Para ibu kini berupaya memberi makan anak-anak mereka dengan apa yang ada di sekitar mereka: mangga mentah dan asam yang dicampur dengan tanah liat. Banyak anak-anak yang memiliki kaki kurus dan lemah, rambut kemerahan dan perut buncit karena kurang gizi. Tak seperti anak-anak sebaya lainnya yang sehat dan lincah bergerak, anak-anak di desa ini selalu tampak kelelahan dan pasif.

Anak-anak yang kelaparan dan kekurangan gizi tengah menanti bantuan makanan di Desa Fenoaivo, Madagaskar. Foto diambil pada 9 November 2020. (Sumber: AP Photo / Laetitia Bezain)

Setelah laporan tentang sedikitnya 8 anak meninggal di wilayah ini mengemuka, baru-baru ini Andry Rajoelina, presiden negara pulau di Samudera Hindia itu, datang menyambangi Mdagaskar selatan. Dalam kunjungannya, sang presiden berjanji akan memenangkan perang melawan kekurangan gizi.

Baca Juga: Menghindari Konflik, Penduduk Tigray Mengungsi ke Sudan Menyebrangi Sungai Tekeze

Meski sejumlah bantuan makanan sudah didistribusikan, para penduduk mengatakan bahwa bantuan makanan tersebut hanya cukup untuk bertahan hidup selama beberapa hari saja. Pihak WFP mengakui ini dan menyatakan bahwa stok bantuan makanan mereka memang hanya cukup bagi setengah juta penduduk hingga akhir tahun saja.

WFP juga menyebut, Madagaskar selatan tengah berada di ujung tanduk bencana kemanusiaan. Tiga dari 4 anak di distrik Amboasary yang menjadi pusat krisis kelaparan, telah meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tua mereka mencari makanan.

Para petani mengeluh, mereka tak lagi dapat menanam karena kurangnya curah hujan. Pun, mereka menyerah untuk memelihara hewan ternak akibat banyaknya kasus pencurian hewan ternak. Sejumlah penduduk juga mengatakan bahwa mereka telah menjual barang-barang kebutuhan utama mereka seperti peralatan memasak, baju, buku pelajaran sekolah, untuk mendapatkan makanan.

Kini, sebagian orang menebang pohon untuk membuat arang untuk bertahan hidup. Ini tetap mereka lakukan meski mereka menyadari bahwa menebang pohon dapat memperparah kekeringan yang melanda wilayah mereka.

Baca Juga: Pandemi Picu Kelaparan, Dokter Anak di Inggris Tuntut Makanan Gratis Untuk Anak-Anak

“Kami tidak punya pilihan lain. Kami hanya ingin bertahan hidup,” ujar para penduduk.

Seorang ibu, Toharano, mengatakan, empat dari seluruh 14 anaknya telah meninggal di bulan Juni dan Juli lalu karena kelaparan.

“Siapa yang tahan tidak makan pagi, siang dan malam?!” ujarnya lemah, kelelahan akibat kelaparan dan hawa panas akibat kekeringan yang melanda. “Anak-anak kami terbangun di malam hari karena lapar.”

Refanampy sang kepala desa menuliskan nama-nama anak-anak yang telah meninggal dalam buku catatannya. “Kami sebenarnya terbiasa dengan kelaparan, tapi kali ini, sungguh keterlaluan,” ujarnya. “Sebelum sekarang, tidak ada warga kami yang sampai meninggal karena kelaparan.”

Sejumlah pria tampak tengah menggali dasar sungai Mandrare di Desa Fenoaivo, Madagaskar untuk mencari air. Foto diambil pada 9 November 2020. (Sumber: AP Photo / Laetitia Bezain)

Sungai Mandrare yang mengalir di wilayah itu, kini mengering. Sejumlah pria tampak terlihat tengah menggali dasar sungai untuk mencari air.

“Di sinilah kami mencoba menanam ubi manis, tapi mereka semua mati," terang Masy Toasy (10) lugas. Sekolah Masy berada di seberang sungai. Namun, Masy tak lagi bersekolah karena orang tuanya telah menjual buku-buku sekolah Masy untuk membeli sedikit beras. 

“Warga di sini sudah tidak punya sumber daya lagi untuk membantu mereka menghadapi krisis ini,” ujar Theodore Mbainaissem dari WFP. Tingkat kelaparan yang terjadi di wilayah ini, tambahnya, sungguh menerbitkan keterkejutan sekaligus kegetiran para relawan kemanusiaan dan pihak berwenang.

Baca Juga: Sekjen PBB: Covid-19 Adalah Krisis Terbesar di Masa Kita

Mbainaissem menambahkan, pembatasan sosial yang diberlakukan untuk meredam laju penularan Covid-19 membuat para warga di wilayah ini tidak dapat bepergian ke luar wilayah untuk mencari pekerjaan. Kini, larangan bepergian itu sudah dicabut, namun, bencana kelaparan parah sudah telanjur memakan korban jiwa.

“Untuk saat ini,” katanya, “satu-satunya solusi membantu mereka adalah memberikan bahan makanan yang cukup bagi mereka untuk bertahan selama beberapa bulan ke depan.”

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU