> >

Nano dan Teater Koma, Perjalanan Panjang Tak Mengenal Titik

Seni budaya | 20 Januari 2023, 11:53 WIB
Pementasan Sampek Engtay Teater Koma (Sumber: Laman Teater Koma -)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kabar duka datang pada Jumat pagi (20/1/2023). Nano Riantiarno, pendiri dan sutradara Teater Koma, meninggal dunia pada usia 73 tahun di rumahnya, di Kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

Nano, nama lengkap Norbertus Riantiarno, tak bisa dipisahkan dari Teater Koma yang berdiri sejak 1 Maret 1977 di Jakarta. Dalam usia yang mencapai 46 tahun, teater ini terus berproduksi. Meski para pemain sudah banyak berusia tua, namun regenerasi terus dijalankan.

Salah seorang anak Nano, Gagah Tridarma Prasetya, kini melanjutkan kiprah sang ayah sebagai sutradara. Begitu pula dengan Rangga Riantiarno yang ikut menjadi pemain.

Hingga September 2022 lalu, melalui pentas "Roro Jonggrang" Teater Koma telah memproduksi 225 pertunjukan. Sebuah angka yang terbilang panjang. Dan produksi ke 225 itu masih disutradrai oleh Nano yang sudah memasuki usia 73. 

Baca Juga: Pendiri Teater Koma Norbertus Riantiarno Meninggal Dunia, Sempat Dirawat di Rumah Sakit

Dalam perjalanan panjangnya, Teater Koma pernah mengalami masa-masa kelabu, ketika pementasan dicekal di masa Orde Baru. Misalnya, lakon "Opera Kecoa" pada 1990 yang dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta meski acara sudah siap dimulai.

Bahkan, pementasan ini pun  tidak diberi izin pentas keliling ke Jepang. Namun setahun kemudian, dipentaskan dengan judul “Cockroach Opera” oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia.

Dari sisi pertunjukan, Teater Koma selalu berhasil merebut hati penonton. Selalu tampil lebih dari satu malam dengan penonton yang selalu penuh. Cerita yang renyah, menghibur, dengan dialog menyentil menjadi salah satu kekuatan Teater Koma. 

Bahkan, lewat pertunjukan "Sampek Engtay, berhasil memperoleh hadiah MURI (Museum Rekor Indonesia), karena dipentaskan sebanyak 80 kali selama 15 tahun dengan 8 pemain tetap. 

Kini, bukan saja pemain yang banyak mengalami regenerasi. Bahkan penonton sudah berganti. Mereka yang menikmati Teater Koma di masa Orde Baru dengan romantikanya, akan berbeda rasa dengan masa kini yang jauh dari unsur pencekalan. Di masa Orde Baru, pentas teater terasa seperti kanalisasi untuk memberi ruang kritik kepada penguasa. 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU