> >

Mengenang KH. Abdul Wahid Hasyim, Tokoh Cerdas dari Kalangan Santri

Kalam | 19 April 2022, 16:43 WIB
KH. Abdul Wahid Hasyim (Sumber: nu.co.id)

Pada usia 15 tahun beliau sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari secara otodidak dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Baca juga: Jejak dan Pengaruh Hamzah Fansuri, Sastrawan dan Ulama Tasawuf Abad ke-16

Pada tahun 1932, saat usianya 18 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Dua tahun kemudian, ia telah menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, KH. Abdul Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut.

Prestasi dan Pemikirannya Soal Pendidikan Pesantren

Pada usia 25 tahun Wahid Hasyim bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian atau pada saat usianya baru 26 tahun, Wahid Hasyim menjadi Ketua MIAI.

Kariernya terus menanjak dengan cepat. Ia menjadi Ketua PBNU pada usia 32 tahun, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada usia 31 tahun, hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman) pada usia 31 tahun.

Selama menjadi Menteri Agama, beliau telah membentuk beberapa programnya, diantaranya:

  1. Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta.
  2. Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950.
  3. Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia.
  4. Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Fokus utama pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Sebagai seorang santri, upaya peningkatan kualitas tersebut dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren.

Berkat pemikirannya itu, Wahid Hasyim memberikan banyak sumbangsih perubahan untuk dunia penididikan di pesantren. Pesantren tidak lagi berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), tetapi juga menjadi terbuka dengan urusan duniawiyah (dunia).

Baca juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan

Pernikahan dan Wafat

KH. Wahid Hasyim menikah di usia 25 tahun, dengan Solichah, putri K.H. Bisri Syansuri yang saat itu masih berusia 15 tahun.

Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil atau Gus Dur (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB dan Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah K.H. Yusuf Hasyim), Umar Al-Faruq (dokter lulusan UI), Lilik Khadijah dan Muhammad Hasyim.

Wahid Hasyim meninggal di usia ke 39, tepatnya tanggal 19 April 1953 setelah sehari sebelumnya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang dalam perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU.

Penulis : Baitur Rohman Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU