> >

Kisah Pasar Tanah Abang Jelang Lebaran, Pusat Tekstil yang "Kagak Ade Matinye"

Tradisi | 5 Mei 2021, 04:35 WIB
Suasana kepadatan Pasar Tanah Abang di tengah pandemi (Sumber:Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, kembali jadi sorotan setelah terjadi peningkatan jumlah pengunjung pada Sabtu dan Minggu (1-2 Mei 2021) lalu. Membludaknya jumlah pengunjung di masa pandemi jelas menjadi masalah karena dikhawatirkan terjadi penyebaran Covid-19.

Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ada 87 ribu orang yang datang.  Padahal biasanya hanya setengahnya. "Jadi, memang hari kemarin terjadi lonjakan yang tidak terduga," kata Anies Baswedan, Minggu (2/5/2021). 

Padahal sebelum terjadi pandemi, setiap memasuki bulan puasa hingga jelang Lebaran, pasar tua di Jakarta ini sudah terbiasa dengan pengunjung yang sangat padat.

Kepadatan pasar Tanah Abang membuktikan daya tariknya yang tak lekang oleh waktu, bahkan di masa pandemi sekalipun.

Baca Juga: Soal Kerumunan Pasar Tanah Abang, Satgas Covid-19 Sentil Pemerintah Daerah untuk Tegas

Dalam catatan sejarahnya, pasar ini memang tak pernah sepi sejak didirikan  oleh tuan tanah Yustinus Vinck pada 30 Agustus 1735. Dulu  Pasar Tanah Abang hanya dibuka setiap Sabtu, dan saat itu mampu menyaingi pasar Senen yang sudah lebih maju.

Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, Tanah Abang adalah satu dari tiga pasar yang dibangun di zaman kolonial Belanda di Batavia selain Pasar Senen dan Pasar Baru.

Sementara  sejarawan Betawi Abdul Chaer mengisahkan masa kecilnya di Tanah Abang lewat buku  Tenabang Tempo Doeloe (2017). Dalam buku itu diceritakan bagaimana kawasan Tanah Abang yang kini menjadi pasar pusat grosir tekstil dan rumah-rumah yang padat, dulunya merupakan lahan yang rimbun dan asri.

Banyaknya kebun membuat banyak pedagang dan pembeli yang memanfaatkan lahan di sana. Hingga dibuatkan kanal khusus untuk mengangkut hasil kebun dari Tanah Abang.

Adalah kapitan China bernama Phoa Beng Gam yang meminta izin dari kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) untuk membuka lahan di Tanah Abang  untuk dijadikan kebun.

Baca Juga: Panik Pintu Gerbang Ditutup, Penumpang di KRL Tanah Abang Terobos Masuk ke Area Stasiun

Namun pada 1740 terjadi huru-hara pembantaian orang Tionghoa oleh Belanda yang menyebabkan perekonomian Tanah Abang hancur.

Johannes Theodorus Vermeulen dalam bukunya Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740 menyebutkan perkiraan orang Tionghoa yang dibunuh. "Mungkin saja jumlah orang Tionghoa yang terbunuh mencapai 10.000 orang atau lebih. Tetapi perlu juga dipertimbangkan dalam kondisi apa mereka terbunuh," tulis Johannes.

Meski memasuki masa suram, namun Tanah Abang tidak mati. Justeru terus bangkit hingga setelah Indonesia merdeka di abad ke-20,  pasar ini terus berkembang dan didatangi banyak penjual dan pembeli. 

mengalami kebakaran tiga kali. Namun, kondisinya terus membaik dan terus menjadi daya tarik pengunjung. Kini  Pasar Tanah Abang terdiri dari tiga gedung yang biasa disebut Tanah Abang Lama, Tanah Abang Metro, dan Tanah Abang AURI. Tanah Abang Lama terdiri atas beberapa blok, di antaranya Blok A, B, dan F. Tiap blok terdiri dari kios-kios.  Ada 10 ribu kios di Tanah Abang yang rata-rata menjual pakaian dan tekstil.

Dan setiap memasuki bulan Ramadan hingga jelang Ramadan keramaian pasar ini tak ada bandingannya. Seperti ungkapan orang Betawi untuk menggambarkan kondisi yang tak pernah surut, "Kagak ada Matinye".


 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU