> >

Serba-Serbi Thrifting: di Jogja Namanya Awul-awul, di Surabaya Ada Obok-obok, Kalau di Tempat Kamu?

Ekonomi dan bisnis | 18 Maret 2023, 07:40 WIB
Ilustrasi - Pembeli memilih pakaian bekas impor atau thrifting di salah satu kios di Pasar Metro Atom, Pasar Baru, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Presiden Joko Widodo mengatakan bisnis impor pakaian bekas sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri. (Sumber: Kompas.TV/Ant)

Baca Juga: Konsumen Thrifting Buka Suara soal Larangan Impor Baju Bekas: Lebih Murah, Kualitas Oke, Size Banyak

Thrifting bisa meminimalisir dampak negatif lingkungan?

Menurut Head of Environment Unit UNDP Indonesia Aretha Aprilia yang dikutip dari Kompas.com (2/9/2022), industri thrifting akan memberikan sumbangsih positif pada sustainable fashion atau meminimalisir kerusakan lingkungan, hanya jika berasal dari pasar domestik atau produk lokal.

Dengan kata lain, tidak melakukan jual beli baju bekas impor dari luar.

"Ketika ada impor pakaian bekas yang kita terima, berarti itu kan ada juga yang tidak laku. Berarti kita harus mengirimnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau ke landfil. Jadi itu malah justru bisa membebani kita sebagai negara," ungkapnya.    

Lebih lanjut, Aretha menyebutkan bahwa kebanyakan pakaian menggunakan material yang dicampur plastik, yang mana akan lebih lama terdegradasi oleh lingkungan.

Indonesia diketahui masih kesulitan dalam mengelola limbah pakaian domestik, maka jika ada impor baju bekas yang berakhir di TPA justru akan menghadirkan masalah lingkungan baru bagi kita.

"Karena itulah, kalau baju bekas impor yang di-open dumped di TPA, akan semakin memenuhi TPA itu sendiri. Menumpuk dan terus menumpuk. Artinya akan jadi gunung sampah yang setinggi 20-30 meter," tuturnya.

Baca Juga: Kenapa Baju Bekas Impor Bisa Lolos Bea Cukai? Ini Modus Penyelundupannya

Alasan orang suka thrifting

Fashion Designer brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis mengatakan ada tiga faktor yang memicu orang-orang menyukai thrifting.

"Pertama, thrifing menantang kreativitas dalam styling. Ada unsur suprise dalam berbelanja thrift, istilahnya ya lebih seru," ujar Riri dikutip dari Kompas.com, Kamis (19/11/2020).

Pemicu kedua yakni karena barang-barang thrift lebih murah. Ketiga, adanya kesdaran akan keberlanjutan (sustainability) karena masyarakat mulai memahami bahwa kehadiran baju bekas merupakan sumber limbah dunia yang sangat besar.

Sehingga, kehadiran pakaian thrift ini perlu diperhatikan sumbernya, apakah termasuk impor atau barang bekas ilegal.

"Jadi sebetulnya kalau legal ya berarti untuk memutarkan ekonomi, memperpanjang masa pakai produk, yang mana itu baik untuk bumi," jelasnya.  

Indonesia bisa jadi tempat pembuangan barang thrift

Namun, jika barang thrift yang dijual merupakan barang ilegal, artinya Indonesia dijadikan semacam tempat pembuangan dari negara-negara lain, di mana dampaknya akan negatif pada alam Indonesia, khususnya barang bekas tersebut selesai dipakai.

Ia menambahkan, barang bekas yang "fast fashion" cenderung tidak akan awet atau tidak bertahan lama. Artinya, kalau laku sebagai barang bekas, dipakai sebentar lalu akan tetap menjadi sampah juga.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU