> >

Utang RI Capai Rp7.734 T, Sri Mulyani Yakin Indonesia Mampu Bayar: Pembangunan Tidak Nunggu Kaya

Ekonomi dan bisnis | 23 Januari 2023, 10:09 WIB
Menkeu Sri Mulyani bersama Mensos Tri Rismaharini dalam kunjungan kerja di Malang, Jawa Timur (22/1/2023). (Sumber: Instagram @smindrawati)

BATU, KOMPAS.TV- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis, pemerintah akan mampu membayar utang. Sebagai informasi, total utang Indonesia per Desember 2022 adalah sebesar  Rp 7.734 triliun, atau setara 39,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

"Dalam tiga tahun terakhir keuangan negara bekerja keras, termasuk penggunaan instrumen utang yang akan kita bayar kembali (utang). Indonesia mampu membayar kembali (utang)," kata Sri Mulyani dalam kegiatan Ground Breaking Ceremony Pembangunan Kampus 3 UIN Maulana Malik Ibrahim di Desa Tlekung, Kota Batu, Jawa Timur,  Minggu (22/1/2023).

Ia menjelaskan, pemerintah berutang untuk membiayai pembangunan yang harus dilakukan, agar rakyat Indonesia menjadi makmur.

"Pembangunan harus diselenggarakan, tidak boleh ditunda, tidak ada pembangunan menunggu sampai negaranya kaya, karena tidak akan kaya kalau tidak ada pembangunan, jadi ini seperti telur dan ayam," ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari Kompas.com.

 

Ia menyebut, utang juga digunakan untuk membangun perguruan tinggi keagamaan. Yakni utang yang berasal dari lelang Surat Berharga Syariah (SBN) yang merupakan instrumen pembiayaan di APBN.

Begitu juga dengan Kampus 3 UIN Maulana Malik Ibrahim,  yang berasal dari utang Saudi Fund for Development.

Baca Juga: Pengumuman! Utang Pemerintah Tembus Rp7.733 T, Rasio Utang 39,57 Persen, Kemenkeu: Aman Terkendali

"Pembangunan ini menggunakan Saudi Fund for Development, tapi itu juga utang dan kita akan bayar lagi nanti," ucapnya.

Bendahara negara itu mengungkap, total utang dari Saudi Fund for Development untuk pembangunan perguruan tinggi di Indonesia mencapai Rp 2,7 triliun. Utang untuk pembangunan perguruan tinggi juga didapat dari Islamic Development Bank yang nilainya mencapai Rp 7,3 triliun.

"Yang masih aktif Rp 2,75 triliun (melalui Islamic Development Bank), itu artinya yang tidak aktif sudah kita bayar kembali," tambahnya.

Ia menyebut,  pembangunan perguruan tinggi UIN Alauddin, UIN Sunan Gunung Jati, UIN Raden Patah Palembang, UIN Wali Songo Semarang, UIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Raden Intan Lampung dan lainnya juga pakai dana dari utang.

"Itu kita bangun semua dengan uang negara, memang kita pinjam dulu, tapi kita bayar pakai uang negara," tuturnya.

Tapi, ia menekankan lebih banyak pembangunan perguruan tinggi Islam negeri yang menggunakan APBN, yang nilainya mencapai Rp 9,6 triliun. Selama 2015-2023, terdapat 199 proyek pembangunan.

Baca Juga: Sri Mulyani Siapkan Rp104 T di 2023 Agar Warga Miskin Tetap Bisa Beli Pangan

"Ini adalah Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri, Perguruan Tinggi yang ada di bawah Kemenag dan Kemendikbud, nilainya Rp 9,6 triliun jadi lebih besar dari Islamic Development Bank maupun Saudi Fund for Development," jelasnya.

Sri Mulyani menyampaikan betapa pentingnya membangun perguruan tinggi keagamaan dan perguruan tinggi lainnya. Yakni sebagai investasi agar bonus demografi di 2045 memberikan manfaat optimal.

"Menjadi negara maju Insya Allah kita akan merayakan Indonesia 100 tahun, maka kita perlu investasi hari ini, pada saat penduduk kita demografinya masih muda. Kalau generasi yang muda tidak dilakukan investasi pendidikan pada saat ini, maka masa tua mereka bisa menjadi sengsara," paparnya.

Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sampai dengan akhir Desember 2022,  posisi utang Pemerintah berada di angka Rp7.733,99 triliun. Dengan jumlah itu, maka kini rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 39,57 persen.

Mengutip Buku "APBN KiTA" dari  Kementerian Keuangan Edisi Januari 2023, Rabu (18/1/2023), terdapat peningkatan dalam jumlah nominal dan rasio utang jika dibandingkan dengan bulan November 2022.

Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu (Desember 2021), rasio utang terhadap PDB menurun dari sebelumnya 40,74 persen menjadi 39,57 persen.

Baca Juga: RI-Arab Saudi Lakukan Pertemuan Bilateral di Al Ula, Mendag Arab Saudi: Ini Pertemuan Bersejarah

Jumlah utang Indonesia saat ini hampir mendekati Rp8.000 triliun. Tetapi menurut Kemenkeu, jumlah itu masih dalam batas aman.

“Meskipun demikian, peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal,” tambah Kemenkeu.

“Pemerintah berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati. Untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan utang, Pemerintah akan selalu mengacu kepada peraturan perundangan dalam kerangka pelaksanaan APBN, yang direncanakan bersama DPR, disetujui dan dimonitor oleh DPR, serta diperiksa dan diaudit oleh BPK,” sambungnya.

Berdasarkan jenisnya, utang Pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,53 persen dari seluruh komposisi utang akhir Desember 2022. Sementara berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 70,75 persen.

Kemenkeu menjelaskan, langkah ini menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri.

Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang Rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga.

Baca Juga: Sama-Sama Disubsidi, Tapi Biaya Haji Malaysia Lebih Murah dari Indonesia, Ini Penjelasannya

Sementara itu, kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh Perbankan dan diikuti Bank Indonesia (BI). Sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, hingga akhir tahun 2021 tercatat 19,05 persen, dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen.

“Hal tersebut menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup,” kata Kemenkeu.

“Meski demikian, pemerintah akan terus mewaspadai berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan cost of borrowing seperti pengetatan likuiditas global dan dinamika kebijakan moneter negara maju,” imbuh Kemenkeu.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas.com, Kompas TV


TERBARU