> >

Soal PPh Natura, Pengamat Saran Pemerintah Sebutkan Detail Fasilitas Kantor yang Dipajaki

Kebijakan | 11 Januari 2023, 19:02 WIB
Pajak Penghasilan (PPh) atas fasilitas kantor atau natura akan mulai diterapkan pada paruh kedua tahun 2023. Saat ini, Kementerian Keuangan tengah fokus menggodok aturan teknisnya, sambil mensosialisasikannya kepada masyarakat. (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pajak Penghasilan (PPh) atas fasilitas kantor atau natura akan mulai diterapkan pada paruh kedua tahun 2023. Saat ini, Kementerian Keuangan tengah fokus menggodok aturan teknisnya, sambil menyosialisasikannya kepada masyarakat.

Maklum, payung hukum Pajak Natura baru UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP No 55 Tahun 2022. Masih perlu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini drafnya tengah digarap, untuk mengimplementasikan Pajak Natura.

Dalam PP 55/2022, baru disebutkan kategori natura dan kenikmatan yang dikecualikan. Sedangkan, soal jenis-jenis benefit apa saja yang didapat pekerja dari perusahaan yang akan dipajaki, belum ada penjelasannya.

Meskipun di beberapa kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan jika fasilitas hanya berupa ponsel dan laptop, tidak akan dipajaki. Tapi cukup dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pekerja.

Menkeu menyebut, Pajak Natura hanya dikenakan pada level manajerial, direksi, dan CEO. Mereka biasanya mendapat fasilitas kantor atau kenikmatan berupa kartu anggota golf club hingga terbang dengan jet pribadi.

Baca Juga: Cuan Dari Lato-Lato: Di Shopee Saingan Sama Penjualan Masker, Di Tokopedia Naik 57 kali Lipat

Atau bagaimana mekanisme pemotongan PPh Natura dilakukan. Apakah dipotong dari gaji karyawan atau dibayarkan oleh perusahaan.

Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, ketentuan teknis PPh atas natura/kenikmatan harus kembali mempertimbangkan apa yang menjadi objek pajaknya.

Berdasarkan narasi yang selama ini dikemukakan oleh pemerintah, setidaknya terdapat dua tujuan utama penerapan pajak tersebut.

Pertama, dalam rangka menjamin keadilan khususnya adanya beban pajak yang setara bagi pihak yang menerima penghasilan berbentuk tunai dan nontunai (keadilan horizontal).

Serta mencegah ketimpangan tambahan kemampuan ekonomis bagi pegawai di level tertentu, yang banyak menerima natura/kenikmatan (keadilan vertikal).

Baca Juga: Pengumuman! Pajak Fasilitas Kantor Mulai Diterapkan Semester II Tahun 2023

"Kedua, berdasarkan naskah akademis UU HPP (dahulu RUU KUP), salah satu pertimbangannya adalah dengan kian maraknya penghasilan dalam bentuk nontunai yang diterima influencer ketika melakukan endorsement barang/jasa. Atas natura/kenikmatan tersebut belum dipajaki," kata Bawono saat dihubungi Kompas TV, Rabu (11/1/2023).

Ia menjelaskan, dari perspektif tersebut, tersirat bahwa pengenaan pajak natura/kenikmatan mencakup subjek pajak orang pribadi yang merupakan pegawai dan bukan pegawai.

Namun natura/kenikmatan yang diterima oleh pegawai dan bukan pegawai pada dasarnya memiliki filosofi dan skema yang relatif berbeda.

Dalam konteks pemberi kerja dan pegawai, natura/kenikmatan umumnya diberikan sebagai alat untuk mendorong produktivitas dan skema mempertahankan (retain) pegawai.

Cara yang dilakukan bisa bermacam-macam. Mulai dari laptop, pulsa, biaya kesehatan, kendaraan operasional, outing (team building), dukungan dana pendidikan, keanggotaan gym, hingga pinjaman lunak.

Baca Juga: Intip Sejarah Pasar Kue Subuh Senen yang akan Tutup Setelah 34 Tahun Beroperasi

"Persoalannya adalah UU HPP dan PP 55/2022 hanya mengecualikan jenis natura/kenikmatan tertentu yang dikenakan PPh," ujar Bawono.

"Dengan kata lain, mengatur cakupan dengan skema negative list. Pertanyaannya, apakah dengan demikian seluruh natura/kenikmatan akan dikenakan PPh?" tambahnya.

Jika ya, lanjut Bawono, tantangan pengaturan PPh atas natura akan besar. Dari sisi ketentuan teknis, berarti dibutuhkan pendalaman mulai dari nilai threshold, skema valuasi atas tiap item natura, hingga menelaah sejauh mana prinsip simetris (taxable-deductible) bisa diterapkan.

Tidak hanya itu, cakupan yang terlalu luas dapat memengaruhi skema benefit yang diterima pegawai dari pemberi kerja di masa mendatang. Sehingga dapat berdampak bagi hubungan pekerjaan.

Mencermati tantangan tersebut, maka tidak mengherankan jika banyak negara pun umumnya tidak mengenakan pajak atas natura/kenikmatan melalui skema negative list.

Baca Juga: Pahami Tahapan Klaim Asuransi Agar Tak Gagal Saat Mengajukannya

"Dari catatan DDTC Fiscal Research & Advisory, 34 dari 46 negara (74%) di dunia justru mencantumkan secara jelas, detail, dan eksplisit jenis natura/kenikmatan yang dikenakan pajak (skema positive list)," ungkapnya.

Oleh karena itu, ada baiknya ketentuan teknis mengenai natura/kenikmatan yang diterima oleh pegawai sebaiknya menganut positive list.

Di sisi lain, untuk skema PPh atas natura/kenikmatan yang diterima oleh bukan pegawai, skema negative list masih bisa diterapkan.

Pasalnya, natura/kenikmatan semisal yang diterima influencer dari pemberi imbalan umumnya sebagai bentuk penghasilan (tambahan kemampuan ekonomis) dalam rangka hubungan komersial belaka.

Bentuknya pun bisa bermacam-macam mulai dari produk, hadiah perjalanan, hingga akses yang tidak terbatas atas fasilitas tertentu.

"Singkatnya, ruang lingkup PPh atas natura/kenikmatan bagi bukan pegawai bisa lebih luas daripada ruang lingkup untuk pegawai," pungkasnya.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : KompasTV


TERBARU