> >

Sejumlah Alasan di Balik Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Ekonomi dan bisnis | 28 Juli 2022, 12:51 WIB
Kondisi bagian muka terowongan atau tunnel 2 jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung di daerah Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (21/6/2022). Terowongan sepanjang 1.050 meter itu menjadi terowongan yang terakhir dirampungkan karena faktor geologis. (Sumber: Kompas.id/Erika Kurnia )

JAKARTA, KOMPAS.TV – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) mengalami pembengkakkan biaya (cost overrun) dalam pengerjaannya. Imbasnya,  Pemerintah Indonesia diminta untuk menanggung pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) oleh China Development Bank (CDB).

Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo mengungkapkan, dalam rapat dengan Komisi V DPR beberapa waktu lalu bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memiliki banyak hambatan sehingga terjadi pembengkakan biaya.

Hambatan tersebut mulai biaya pembebasan lahan yang naik, enginering, procurement, construction (EPC), relokasi jalur dan biaya lainnya mendorong terjadinya cost overrun. Kemudian, mulanya, target penyelesaian Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah di tahun 2019, lalu mundur ke tahun 2022. Belakangan, targetnya mundur lagi menjadi 2023.

Lebih rinci, berikut penjelasan soal beberapa hambatan dan alasan di balik pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung;

Untuk diketahui, pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp 114,24 triliun. Angka itu bertambah 1,9 miliar dollar AS (Rp 27,09 triliun) dari rencana awal sebesar 6,07 miliar dollar AS yang ekuivalen dengan Rp 86,5 triliun.

  • Pengadaan lahan

Biaya pengadaan lahan yang memakan porsi cukup besar terhadap biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pasalnya, proses pengadaan lahan yang memakan cukup banyak waktu membuat harga tanah yang akan dibebaskan turut mengalami kenaikan.

 “Sejak awal di pembebasan lahan ini antara 100 juta dollar AS sampai 300 juta dollar AS, yang besar juga EPC ini di angka 600 juta dollar AS sampai 1,2 miliar dollar AS, relokasi jalur-jalur kemudian biaya financing cost sendiri,” sebut Didiek dalam rapat Komisi V DPR, Rabu (6/7/2022) lalu.

Baca Juga: Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak Rp27 Triliun, China Minta RI Tanggung Sendiri Pakai APBN

  • Kondisi geologi

GM Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Rahadian Ratry mengakui, ada situasi-situasi yang tidak terduga seperti kondisi geologi di tunnel 2.

Meskipun dalam perencanaannya KCIC sudah memetakan area tersebut adalah area clay shale (sedimen butiran halus)  dan masih memungkinkan untuk dibuat tunnel. Namun, dalam praktik di lapangan, ternyata kondisi geologisnya adalah clay shale ekstrem.

Kondisi itu membuat pembangunan sempat terhambat dan akhirnya berdampak pada penambahan biaya. "Hal ini memaksa kami untuk melakukan beberapa metode untuk mengatasi persoalan geologis," ungkap Rahadian pada Kamis (7/4/2022) lalu, dikutip dari Kompas.com.

  • Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun 2020 membuat perencanaan proyek menjadi terhambat. Sebab, upaya penanganan Covid-19 tidak pernah dianggarkan sebelumnya.

 Namun, agar proses pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tetap dapat berlangsung, KCIC perlu mengadakan langkah pencegahan Covid-19 sesuai dengan ketentuan pemerintah, mulai dari proses karantina hingga tes Covid-19 rutin. Hal ini tentu menambah anggaran.

  •  Penggunaan frekuensi GSM-R

Selain itu, penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api di Indonesia ternyata membutuhkan biaya investasi. Biaya ini di luar anggaran awal.

Pasalnya, pada anggaran awal KCIC mengacu pada penggunaan frekuensi GSM-R di China di mana penggunaan frekuensi termasuk investasinya tidak perlu bayar. Sedangkan untuk di Indonesia kebijakannya berbeda.

  • Instalasi listrik dan lain-lain

Rahadian juga menyebutkan, KCIC membutuhkan biaya investasi tambahan untuk instalasi listrik PLN.

“Masalah anggaran ini juga berasal dari pekerjaan variation order dan financing cost serta pekerjaan lainnya yang memang harus dilakukan untuk kebutuhan penyelesaian proyek KCJB," jelasnya.

Tunggu arahan Jokowi

Terkait beban pembiayaan, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah Indonesia tak bisa langsung menerima permintaan China, agar APBN bisa ikut menanggung pembengkakan biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Permintaan China ini juga harus menunggu arahan dari Presiden Jokowi apakah nanti bisa pemerintah ikut andil menalangi atau tidak.

"Ada permintaan karena cost overrun ini agar di-cover oleh pemerintah Indonesia. Terkait hal ini, teman-teman dari Kementerian Keuangan baru membahas yang merupakan bagian kewajiban kami untuk kontribusi dalam pembangunan, bukan cost overrun," jelas Wahyu Utomo.

Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat beberapa kali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah murni business to business (b to b) dan berjanji tak akan menggunakan dana APBN sepeser pun.

Menurutnya, pemerintah melalui Kemenko Perekonomian bersama Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi terus memonitor dengan ketat proyek ini.

Dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, CDB memiliki porsi investasi terbesar yakni 75 persen. Dari total kebutuhan dana investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung, pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dollar AS atau setara Rp 64,9 triliun.

Sementara, 25 persen pendanaan sisanya, berasal dari setoran modal dari konsorsium dua negara, Indonesia-China. Rinciannya, konsorsium BUMN Indonesia (PT KAI (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN) menyetorkan kontribusi sebesar 60 persen, dan sisanya dari modal konsorsium China, Beijing Yawan sebesar 40 persen.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Kompas.com


TERBARU