> >

Anggaran Ganti Rugi Terkait PMK Tak Kunjung Turun, Sejumlah Aturannya Pun Dinilai Rancu

Kebijakan | 18 Juli 2022, 08:42 WIB
Ternak sapi yang terkena PMK di kandang sapi Desa Segoroyoso, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY. (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Anggaran kompensasi dan bantuan bagi peternak yang hewan tenaknya mati akibat penyakit mulut dan kuku (PMK) belum juga terealisasi. Kementerian Pertanian sementara ini hanya menyampaikan anggaran terkait hal itu belum turun.

Melansir dari Kompas.id, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan Nuryani Zainuddin hanya menjawab singkat, saat dikonfirmasi terkait sejauh mana sosialisasi dan pelaksanaan Kepmentan No 518/2022. “Menunggu anggarannya turun,” katanya lewat pesan singkat, Senin (18/7/2022).  

Kemudian, pertanyaan mengenai penetapan besaran kompensasi ataupun bantuan bagi peternak, ia pun tidak merespon.

Untuk diketahui, aturan soal kompensasi dan bantuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 518 Tahun 2022 tentang Bantuan dalam Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang ditetapkan pada 7 Juli 2022.

Keputusan menteri itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah No 47/2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan.

Dalam keputusan itu disebutkan, pendepopulasian ditempuh melalui pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter) dan pemusnahan populasi (stamping out).

Kompensasi diberikan jika hewan yang didepopulasi merupakan hewan sehat yang berpotensi menularkan PMK pada hewan. Sedangkan, hewan yang mati akibat PMK atau tertular PMK dan dikenai tindakan pemotongan bersyarat dapat diberikan bantuan.

Baca Juga: Sapi yang Dimusnahkan karena PMK akan Dapat Ganti Rugi Rp10 Juta per Ekor

Kemudian, dalam lampiran keputusan itu, pada kriteria wilayah, disebutkan wilayah yang diberikan kompensasi ialah wilayah atau kawasan (pulau) yang merupakan zona hijau. Sementara, untuk yang diberikan bantuan ialah wilayah atau kawasan zona merah.

Besarannya ditetapkan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian.

 

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman menilai, sejumlah diktum dalam Kepmentan No 518/2022 rancu dan perlu diperjelas. Di antaranya mengenai kriteria sasaran ternak untuk dikompensasi, yakni 'hewan sehat yang berpotensi menularkan PMK'.

“Termasuk, kerancuan pada sumber dana pemberian, apakah APBN, APBD provinsi, atau APBD kabupaten/kota,” ujarnya.

Pasal 44 Ayat (3) UU No 18/2009 tentang PKH memang menyebutkan, pemerintah tidak memberi kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan.

Sementara pada ayat (4) pasal itu disebutkan, pemerintah memberi kompensasi bagi hewan sehat, yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi.

Dalam penjelasan atas UU itu disebutkan, yang dimaksud ‘tidak memberikan kompensasi’ ditujukan kepada hewan tertular penyakit hewan menular eksotik. Sementara yang dimaksud ‘pemerintah memberi kompensasi bagi hewan sehat’ adalah jika penyakit itu bukan penyakit hewan menular eksotik, contohnya brucellosis dan anthrax.

Sebagaimana diketahui, menurut PP No 47/2014, penyakit hewan eksotik adalah penyakit yang belum pernah ada atau sudah dibebaskan di suatu Wilayah atau di seluruh wilayah NKRI.

Adapun,PMK, dalam Kepmentan No 4.026/2013 telah ditetapkan sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang bersifat eksotik, seperti disebutkan dalam Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Ditjen PKH Kementan Edisi 3.1.

Sederet regulasi tersebut, dinilai Ali, rancu dan cenderung multitafsir.

 "Diperlukan peran peternak dan asosiasi untuk mendorong pemerintah untuk merevisi aturan tersebut. Jika rancu seperti itu, dana kompensasi berpotensi tidak tepat sasaran. Juga berpotensi pula disalahgunakan," katanya.

Selain itu, terkait PMK, menurutnya, para peternak tidak tahu apa-apa, kemudian virus menyerang tiba-tiba hewan ternaknya.

 "Ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab, bagaimanapun, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab karena telah gagal mencegah masuknya PMK dan mengendalikannya agar tak menyebar lebih luas," tandasnya.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Kompas.id


TERBARU