> >

Pendapatan Asli Daerah Terkontraksi Pandemi Covid-19, Serapan Anggaran Daerah Masih Rendah

Ekonomi dan bisnis | 1 Juni 2021, 22:06 WIB
Ilustrasi suasana rapat paripurna DPRD DKI Jakarta, pada Jumat (27/11/2020). Rapat kali ini memiliki agenda pembahasan penyampaian pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap Raperda Provinsi DKI Jakarta tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2021. (Sumber: Kompas.com/Sonya Teresa)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Kemendagri mencermati terkait rendahnya angka realisasi belanja anggaran.

Hal itu dibuktikan dengan adanya uang pemerintah daerah di perbankan pada 30 April 2021.

Berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia (BI), jumlahnya sebesar Rp 194,5 triliun.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian memaparkan, data BI menyebutkan, pada Maret 2021 ada uang kas di perbankan Rp 182,33 triliun.

Pada April naik menjadi Rp 194,54 triliun.

"Jika dibandingkan dengan tahun 2020, ada kenaikan angka simpanan di perbankan sekitar Rp 3 triliun. Jika diperhatikan, dari pendapatan dan belanja ada penurunan, tetapi simpanan semakin besar," terang Ardian dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (31/5/2021)

Di sisi lain, Ardian menuturkan, dana transfer pemda kemungkinan ada pengurangan karena penyesuaian.

Sektor pendapatan asli daerah (PAD) pun terkontraksi di era pandemi.

Karena itu, ada upaya yang dilakukan pemda untuk bisa mendapatkan tambahan PAD melalui bunga.

Baca Juga: Realisasi Belanja APBD Belum Optimal, Pemda Dilarang Simpan Uang di Bank Demi Kepentingan Pribadi

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, belanja daerah masih sangat bergantung dari transfer pusat melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Hingga Mei 2021, TKDD baru ditransfer 29,32 persen.

Karena itu, kas daerah relatif kosong.

”Daerah belum bisa mengandalkan belanja yang bersumber dari PAD (pendapatan asli daerah) karena PAD masih terkontraksi karena Covid-19,” kata Misbakhul, dikutip dari Kompas.id.

Ia menjelaskan, serapan anggaran daerah rendah karena proses pencairan dan eksekusi anggaran dari dana transfer pusat itu prosesnya rumit.

Selain itu, proses lelang pengadaan barang/jasa di daerah juga terlambat.

Menurut Misbakhul, proses semacam ini perlu dievaluasi dan diubah karena mengorbankan kualitas proyek yang dilaksanakan.

Faktor lainnya adalah kesengajaan daerah untuk tidak segera melakukan lelang proyek, pengadaan barang/jasa, dan justru disimpan di bank.

”Tidak heran kalau idle money (uang menganggur) APBD sangat tinggi. Hal ini juga rawan terhadap penyimpangan anggaran daerah,” kata Misbakhul.

Baca Juga: Realisasi APBD NTT Kuartal Pertama Rendah, Gubernur Minta Berbagai Pihak Bantu Serapan Anggaran

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU