> >

Harga Bahan Baku Naik dan Banjir Impor, IKM Konveksi-Garment Menjerit

Ekonomi dan bisnis | 19 Maret 2021, 13:28 WIB
Ilustrasi Pabrik Tekstil (Sumber: KOMPAS.COM/AAM AMINULLAH)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) meminta pemerintah memperhatikan nasib Industri Kecil dan Menengah (IKM) di sektor konveksi dan garment.

Sekjen APIKMI Widia Erlangga menyatakan, kondisi IKM konveksi dan garment di tengah pandemi Covid-19 kian terpuruk karena naiknya harga bahan baku mencapai 30%.

"Beberapa jenis kain produksi lokal seperti rayon dan katun yang digunakan IKM di Solo dan Bandung naik signifikan. Sekitar 20% hingga 30% per yard, " kata Widia dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.TV, dikutip Jumat (19/03/2021).

Baca Juga: Mulai Hari Ini, Karpet Turki Makin Mahal Kena Bea Masuk 2x

Menurut Widia, naiknya harga bahan baku karena Menteri Keuangan Sri Mulyani menerapkan aturan  Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) atau safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) seperti benang dan kain, pada November 2019.

Aturan itu ditetapkan, setelah Komite Pengamanan dan Perdagangan Indonesia (KPPI) melaporkan kerugian serius yang dialami industri dalam negeri akibat lonjakan impor bahan baku tekstil dan produk tekstil.

Hal itu senada dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat pada periode 2016-2018 volume impor kain terus meningkat rata-rata sebesar 31,80%.

Dengan aturan safeguards itu, otomatis harga bahan baku tekstil impor menjadi lebih mahal. Sehingga bisa menjadi kesempatan IKM dalam negeri meningkatkan produksi bahan baku tekstil, untuk mengurangi ketergantungan impor.

Baca Juga: Sri Mulyani Dapat Petisi Gara-Gara Bea Masuk Barang Impor E-commerce

Sebelum diberlakukannya aturan safeguards, IKM konveksi dan garment dalam negeri memang hanya memanfaatkan setengah dari kapasitas produksi mesin yang mereka miliki. Alhasil produktivitasnya pun tidak maksimal.

Nyatanya, tak lama aturan itu berlaku, pandemi Covid-19 pun menghantam Indonesia. Jangankan meningkatkan produksi, untuk mempertahankan operasional sehari-hari saja pelaku IKM kesulitan.

Apalagi pangsa pasar mereka juga kian menyempit. Hasil produksi konveksi dan garment yang tadinya 70% diekspor, kini harus dialihkan ke pasar dalam negeri lantaran terkendala proses ekspor di masa pandemi.

"Tapi di sisi lain, permintaan pasar dalam negeri juga menurun karena dampak Covid. Kondisi itu diperparah dengan mudahnya barang impor dari China dan Thailand masuk ke Indonesia, dalam bentuk produk garment jadi," ujar Widia.

Baca Juga: Sawit RI Kini Bebas Bea Masuk Ke Swiss, Norwegia, dan Islandia

Sebelumnya, Dirjen Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Gati Wirawaningsih menyatakan, ada sejumlah pihak yang memanfaatkan situasi saat ini sehingga menimbulkan praktek kartel.

"Kemungkinannya sangatlah besar ada kartel bahan baku (tekstil), dikarenakan dengan kurangnya supply bahan baku untuk pasar domestik. Sementara bahan baku tekstil impor amatlah sulit untuk didapatkan guna dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata Gati.

Pelaku IKM pun berharap, Menkeu juga membuat aturan safeguards untuk impor produk tekstil jadi. Agar produk tekstil lokal bisa bersaing. Mereka juga meminta pemerintah segera merealisasikan bantuan mesin untuk pelaku IKM konveksi dan garment.

Pemerintah menjanjikan membantu 25% biaya impor mesin, sedangkan sisanya 75% biar diajukan lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun karena pandemi, perbankan menganggap pelaku IKM konveksi garment sebagai nasabah yang berisiko karena menunggak cicilan kredit.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU