> >

Tuntut Upah Naik, Lantang Mana, Suara Buruh Atau Suara Perut?

Ekonomi dan bisnis | 20 Oktober 2020, 16:04 WIB
Ilustrasi: massa buruh berdemonstrasi melintasi Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. (Sumber: TRIBUN NEWS / HERUDIN)

JAKARTA, KOMPASTV. Percakapan antara pekerja, dengan masyarakat umum seperti di bawah ini, bisa jadi akan semakin sering Anda dengar:

Si A: Udah hampir 7 bulan nih, gaji gue dipotong. Katanya perusahaan lagi sulit keuangan.

Si B: Kudu ngerti sih Bro, emang susah. Syukur-syukur gajian enggat telat ya.

Si C: Eh, lu bedua harusnya Alhamdulillah. Meski potong gaji, seenggaknya masih punya kerjaan, status karyawan, ada pemasukan. Zaman sekarang mah boro-boro kepikiran gaya, bertahan hidup aja “udah cakep bener”.

Mak jleb? Kenaikan upah minimum pekerja tepatnya buruh, tahun depan, kemungkinan tidak akan setinggi tahun ini. Alasannya, komponen dalam rumus penghitungan kenaikan upah minimum tahun ini, terkontraksi oleh pandemi.

Begini penjelasannya,

Pertama, Indonesia sudah terseret resesi, dunia usaha tak beroperasi mulus. Pandemi, memukul semua relung-relung pemasukan. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menghitung, sampai akhir tahun, pertumbuhan ekonomi bisa terkontraksi ke skema buruk, yaitu antara minus 1,6 persen sampai negatif 0,6 persen.

Kedua, indeks harga konsumen (IHK) enggan berlari kencang, membuat inflasi cenderung rendah atau bahkan terjadi deflasi di sejumlah harga. Lemahnya daya beli jadi menjadi pemicunya.

Selama ini, hitungan upah minim pekerja, memakai rumus pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Berangkat dari hitungan inilah,  Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Adi Mahfudz mengatakan hitungan upah masih belum akan berubah dan mengacu pada  Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015,".

Rumus hitungan upah, tidak akan pilih kasih pada sektor tertentu. Sebab selama ini formulasi yang diterapkan juga berlaku secara nasional, yang kemudian disesuaikan dengan tiap provinsi.

Artinya, wilayah yang merupakan kawasan industri dengan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang tinggi, juga bakal terkena dampak penurunan upah.

"Kalau sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) konsekuensinya daerah seperti DKI Jakarta dan Karawang akan turun nilainya," lanjut Adi, kami kutip dari Kompas.com.

Penulis : Dyah-Megasari

Sumber : Kompas TV


TERBARU